Rumah Tuhan di Atas Para Dewa

Kamis, 17 September 2009 | 04:51 WIB

Dari kejauhan, bangunan ini tidak tampak seperti sebuah masjid. Layaknya sebuah masjid di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh), kubahnya berbentuk bulat atau dikenal dengan sebutan kubah bawang. Namun, hal itu tidak tampak pada keseluruhan bangunan Masjid Indrapuri.

Masjid yang terletak di Kecamatan Indrapuri, sekitar 30 menit ke arah pantai timur Aceh, tepatnya ke arah Kota Sigli, sama sekali tidak memiliki ciri khas bangunan masjid Aceh pada umumnya.

Hampir seluruh masjid di wilayah Aceh yang dibangun saat ini memiliki bentuk bangunan yang sangat mirip dengan Masjid Raya Baiturrahman, yang menjadi ikon Aceh.

Masjid ini dibangun di atas areal seluar 33.875 meter, diyakini dibangun di atas bangunan benteng pertahanan saat pendudukan Portugis dan Belanda di Aceh. Bangunan masjid yang mayoritas berkonstruksi kayu, dibangun di undakan ke empat benteng pertahanan itu.

Tengku Syafei Zamzami (64), imam masjid tersebut, ditemui di Indrapuri, akhir pekan lalu, mengatakan, banyak sejarawan yakin empat undakan di bawah undakan tertinggi yang sekarang digunakan sebagai masjid merupakan sebuah candi Hindu. Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan relief yang ada di sekeliling bangunan.

Bahkan, salah satu sejarawan Aceh, Ali Hasjmy, yang juga merupakan mantan Gubernur Aceh, meyakini bahwa di bawah bangunan yang sekarang ini berdiri masih ada undakan-undakan lagi yang lebih luas.

Catatan sejarah yang tertuang dalam brosur Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menuliskan, fondasi masjid yang berbentuk segi empat bujur sangkar ini memiliki luas 4.447 meter persegi.

Pembatas

Bangunan berundak empat ini memiliki dinding keliling yang sekaligus menjadi pembatas antarhalaman.

Kaki dan puncak dinding dilengkapi dengan oyif atau bidang sisi genta.

Undakan keempat atau yang paling atas, yang sekarang digunakan sebagai masjid, diduga merupakan tempat kegiatan ritual umat Hindu.

Ornamen asli penghias bangunan, yang diduga berasal dari masyarakat penganut agama Hindu, telah ditutup dengan plester tebal.

Masjid yang diperkirakan dibangun pada masa kesultanan Iskandar Muda (1607-1636) ini dibangun dengan 36 umpak yang menyangga tiang kayu berdiameter 0,28 meter. Empat di antaranya merupakan saka guru atau tiang utama yang berbentuk segi delapan. Adapun 32 tiang lainnya berfungsi sebagai penyangga kerangka atap yang berbentuk tumpang.

Atap yang berbentuk tumpang inilah yang membedakan antara masjid di Aceh pada umumnya dan masjid ini. Berdasarkan catatan sejarah, hanya empat masjid di wilayah Aceh yang memiliki bentuk kubah yang sama dengan Masjid Indrapuri, yaitu Masjid Raya Baiturahman sebelum dibakar tentara Belanda (awal pendudukannya di Aceh), Masjid Indrapurwa, dan Masjid Peulanggahan.

Saat ini, bangunan yang masih memiliki kubah tumpang hanya tinggal dua, yaitu Masjid Indrapuri dan Masjid di Peulanggahan.

Bentuk kubah seperti ini lazim ditemui di Pulau Jawa, seperti Cirebon, Demak, Banten dan Kudus. Bahkan, beberapa buah masjid di Sumatera Barat juga memiliki bentuk kubah yang hampir sama dengan kubah Masjid Indrapuri.

Khawatir

Tengku Syafei mengakui bahwa saat pihak pengurus masjid membangun semacam kanopi atau pelindung di depan pintu masuk masjid yang mengha- dap ke timur, warga sekitar sempat menyatakan ketidaksukaannya.

”Mereka khawatir kami akan menghidupkan budaya Hindu lagi di masjid ini,” katanya sambil tersenyum.

Syafei, kepada para warga, menjelaskan, tahun 1940-an masjid ini sudah digunakan oleh salah satu pemuka Islam di Aceh, yaitu Abu Indrapuri (H Ahmad Hasballah) untuk memurnikan ajaran Islam.

Abu Indrapuri, kata Syafei, mendirikan dayah atau pesantren tradisional di sekeliling bangunan masjid tersebut. Nama Dayah Indrapuri pun sudah terkenal ke seluruh Nusantara, termasuk juga Malaysia dan sekitarnya.

”Bahkan, murid Abu Indrapuri ada yang berasal dari Ternate. Kalau ada yang mengatakan kami akan menghidupkan kembali budaya Hindu, itu tidak benar. Tempat ini adalah salah satu tempat memurnikan ajaran Islam,” katanya.

Jarang

Sayangnya, di saat bulan Ramadhan seperti sekarang ini, kegiatan keagamaan sangat jarang dilaksanakan di masjid ini.

Menurut Mursalin, salah satu warga, hanya kegiatan wajib, seperti shalat lima waktu, yang diadakan di sini.

Mursalin menuturkan, sekitar 10 tahun lalu, peralatan seperti kentungan masih sering digunakan untuk membangunkan warga agar sahur atau sebagai penanda waktu berbuka bagi yang berpuasa.

Sekarang, karena sudah dimakan usia, kentungan itu sama sekali sudah tidak bisa digunakan lagi. (MHD)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/04514358/rumah.tuhan.di.atas.para.dewa

No comments:

Post a Comment