Pokoknya Pearl Jam, Titik!


KOMPAS/PRIYOMBODO
Anggota Komunitas Pearl Jam Indonesia berkumpul di studio Beebop di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (29/8).

Minggu, 27 September 2009
Budi Suwarna

Lagu milik Pearl Jam, ”Alive”, dimainkan. Seketika belasan anak muda melompat ke panggung, berjingkrak-jingkrak, dan berebut mikrofon untuk menyanyikan lagu tersebut. Malam itu, mereka merasa benar-benar menjadi Eddie Vedder, vokalis Pearl Jam.

Mereka adalah anggota Pearl Jam Indonesia (PJId), yakni komunitas penggemar grup rock Pearl Jam yang berasal dari Seattle, Amerika Serikat, dan populer pada era 1990-an. Grup itu sekarang terdiri dari Eddie Vedder pada vokal, Jeff Ament (bas), Stone Gossard (gitar rhythm), Mike McCready (gitar utama), dan Matt Cameron (drum).

Akhir Agustus lalu, PJId berkumpul di sebuah studio musik di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Sebenarnya, acara utama mereka menyaksikan latihan grup Perfect Ten+Nito yang akan tampil di acara Pearl Jam Night. Yang terjadi, belakangan para penonton itu justru mengambil alih panggung dan ”memaksa” vokalis band tersebut untuk berbagi mikrofon.

”Kalau sudah mendengar lagu Pearl Jam, kami lupa diri. Maunya ikut menyanyi,” kata Awang Dimjati (29), anggota PJId. Dia bahkan beberapa kali ”kabur” ketika sedang diwawancarai. ”Maaf, saya ke dalam dulu mau ikut nyanyi,” kata Awang ketika mendengar lagu ”Betterman” dimainkan.

Komunitas ini memang penggemar tulen Pearl Jam. Buat mereka, tidak ada grup rock sehebat Pearl Jam. Begitu fanatiknya mereka, beberapa anggota enggan mendengar musik lain selain Pearl Jam. Salah seorang di antaranya adalah Awang.

”Buat saya, musik yang asyik cuma Pearl Jam, enggak ada yang lain,” kata dia. Karyawan perusahaan swasta itu mengatakan, di mana pun dia berada, dia berusaha mendengarkan lagu-lagu Pearl Jam dari yang lawas sampai yang anyar.

Ashobru Dhia (28) sama fanatiknya. Di antara band-band hebat, lanjut Dhia, Pearl Jam yang paling hebat. ”Gue dulu juga dengerin Nirvana. Lama-lama bosan juga karena liriknya serba putus asa. Kalau Pearl Jam, gue gak pernah bosan,” kata dia.

Jika Anda berkumpul dengan komunitas ini, kira-kira Anda akan menemui orang-orang yang wajahnya tampak berbinar-binar jika membicarakan Pearl Jam, mulai dari lagu, sepak terjang, hingga sikap dan gaya hidup personel Pearl Jam.

Mereka juga mendiskusikan lirik lagu Pearl Jam, menonton bareng videoclip Pearl Jam, hingga saling pamer cendera mata dan barang apa pun—mulai kaus, foto, hingga potongan artikel—yang ada hubungannya dengan grup musik itu.

”Pernah ada yang bawa rekaman backsound (suara latar) acara sepak bola di televisi yang diambil dari lagu Pearl Jam. Kami ngumpul bareng hanya untuk mendengar backsound itu,” ujar Ega (35).

Awal September lalu, ketika komunitas ini berkumpul kembali di Tebet, sebagian membawa kaus, tas, topi, kaset, CD, VCD, DVD, majalah, koran yang ada tulisan atau foto Pearl Jam-nya. Mereka memamerkan properti yang sebagian dibeli di luar negeri. Anggota PJId lainnya tinggal mengagumi.

Selai mutiara

Anggota komunitas ini umumnya berusia 25-40 tahun. Mereka generasi yang pernah mengalami ingar bingar musik hard rock, grunge, dan punk rock era 1990-an. Pearl Jam adalah salah satu grup rock yang ketika itu amat populer di samping Nirvana dan Gun’s N Roses.

Irwansyah Reza Lubis (38), pentolan PJId, mengaku mulai menggilai Pearl Jam tahun 1991. Dia mengoleksi sembilan album Pearl Jam, beberapa cendera mata resmi, kaus, dan VCD/DVD konser grup tersebut. ”Waktu itu saya belum berpikir berkumpul dengan sesama penggemar Pearl Jam.”

Tahun 1996-1997 ketika karier Pearl Jam surut, Reza justru melihat penggemar Pearl Jam di Indonesia kian banyak. Indikasinya, banyak anak muda membubuhi Vedder, nama belakang vokalis Pearl Jam, Eddie Vedder, di belakang nama mereka. Contohnya Awang Vedder, Ega Vedder, dan Gofur Vedder.

Kondisi ini mendorong Reza membuat milis Selai Mutiara yang merupakan terjemahan bebas dari Pearl Jam. ”Waktu itu respons belum bagus. Setahun hanya ada 100 anggota milis,” kata dia.

Pada saat hampir bersamaan, Reza menemukan milis penggemar Pearl Jam lain, Ten Club Indonesia, yang anggotanya sekitar 200 orang. Tahun 2005, kedua milis ini bergabung dan berganti nama menjadi milis Pearl Jam Indonesia (PJId).

Saat ini, anggota milis PJId sekitar 500 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah, antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Pekanbaru, Palembang, sampai Papua. Hampir setiap tahun mereka bertemu di ajang Pearl Jam Night yang biasanya digelar di Jakarta atau Bandung.

Di luar itu, anggota PJId di Jakarta hampir setiap minggu berkumpul. Acaranya mulai main futsal, menonton videoclip Pearl Jam, menyaksikan latihan band yang membawakan lagu Pearl Jam, sampai makan bubur ayam di Tebet.

Untuk anak-anak PJId, Pearl Jam bukan sekadar musik, melainkan juga gaya dan sikap hidup. Di mata mereka, Pearl Jam adalah bintang rock sederhana, peduli lingkungan, antiperang, dan kritis terhadap industri musik yang sering kali serakah.

”Pokoknya, mereka keren abis,” ujar Reza.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/27/02493976/pokoknya.pearl.jam.titik

Fiki, Menolak Krisis dengan Kreativitas


KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS
Rabu, 23 September 2009

Yulvianus Harjono

Di Bandung, distro memang sudah menjamur. Namun, baru satu yang bisa ”mobile” atau pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghampiri para konsumennya. Distro bergerak yang disebut Airbus One ini merupakan salah satu buah ide kreatif Fiki Satari (33) untuk sukses dalam dunia clothing dan bertahan dari krisis.

Airbus One adalah sebuah fenomena dan pembuktian dalil bahwa dalam industri kreatif tidak ada yang tidak mungkin. Mendirikan distribution outlet (distro) tanpa modal, misalnya, bukanlah suatu hal yang utopis. Buktinya, Airbus One dibuat dengan prinsip nol investasi, begitu juga biaya operasionalnya.

Pada dasarnya adalah sebuah bus, tetapi oleh Fiki bus itu disulap menjadi distro. Interior bus dirombak total. Deretan bangku diganti dengan rak dan kabinet set memanjang guna memajang T-shirt, celana, kemeja, jaket, topi, dan berbagai aksesori lain yang berlabelkan Airplane Systm.

Alat pendingin udara pun menggunakan AC yang biasa dipakai di rumah. Alat pendingin ini memakai energi listrik dari genset yang ada di bagian belakang mobil. Maklum, kalau mengandalkan AC bawaan bus, selain boros bahan bakar juga bisa membuat aki bus tekor.

Airbus One dibuat tahun 2006 dan menjadi cabang distro Airplane yang berpusat di Jalan Aceh, Bandung. Biasanya, Airbus One nongkrong di Jalan Trunojoyo atau Sultan Agung, Bandung. Di tempat inilah mahasiswa maupun siswa yang menjadi pasar potensial lalu-lalang. Distro yang unik ini bahkan tidak jarang lebih ramai dikunjungi pembeli ketimbang distro-distro lain yang ada di sepanjang jalan itu.

”Omzetnya jadi dua kali lipat dibanding toko (Jalan Aceh),” tutur alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran ini. Yang membuatnya lebih sumringah, ia tidak mengeluarkan sepeser pun untuk investasi dan operasional Airbus One.

”Pemakaian busnya menggunakan sistem kerja sama. Kalau beli kan repot, perlu biaya perawatan. Kebetulan, teman ada yang dari PO (perusahaan otobus). Bersinergilah jadinya,” tutur Fiki. Adapun biaya operasional diperoleh dari skim sponsorship.

Bagian luar bus ini dipenuhi logo-logo sponsor. ”Bus ini bisa menjadi sarana marketing yang unik. Daripada repot harus izin dan keluar duit tidak sedikit buat menyewa baliho di pinggir jalan, lebih baik mereka memasang logo di sini. Murah, bisa dilihat orang banyak dan berpindah-pindah pula,” tuturnya.

Simbiosis mutualisme

Keberadaan Airbus One juga sangat vital untuk menjalin dan menghidupi komunitas. Ini penting untuk keberlangsungan bisnis clothing yang hidup dari dan menghidupi komunitas. Sebuah perwujudan simbiosis mutualisme yang ideal di dunia fashion dan bisnis.

”Airbus One dilengkapi dengan teve plasma, sound system 4.000 watt, dan alat penerangan. Jadi, bisa dipakai buat event dan manggung,” ujar pendiri dan pemilik label Airplane Systm Clothing yang menggandeng band-band lokal macam Insurgent Army dan The SIGIT sebagai personifikasi produk mereka.

Modal utama berkecimpung di industri kreatif adalah ide. Asalkan punya ide, sumber daya manusia, dan desain yang bagus, tidak ada alasan bisnis terhambat karena krisis.

”Tahun lalu, meskipun katanya sedang krisis-krisisnya, acara KICKFest (festival clothing) bisa menyerap 300.000 pengunjung. Perputaran uang dalam tiga hari bisa Rp 3,5 miliar,” kata Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK) Indonesia ini.

”Orang masih akan mau beli untuk barang extradordinary macam ini. Asalkan produk kita punya keunikan, entah hanya packaging-nya, akan dilirik orang,” tutur Wakil Ketua Perkumpulan Komunitas Kreatif Kota Bandung ini yang saat diwawancara mengenakan kaus bertuliskan ”.Bdg”-tagline Bandung sebagai kota kreatif yang diciptakan saat Helarfest 2008 digelar.

Produk-produk clothing yang dibuat Airplane Systm ini bercirikan street fashion dengan warna musik atau budaya urban lainnya yang menonjol. Setiap desain diproduksi hanya 150-200 pieces. Sangat terbatas, layaknya produk distro lainnya. Airplane Systm didirikan Fiki tahun 2000.

Untuk itu, kreativitas dalam membuat desain mutlak hal yang sangat penting. Dalam membuat desain, Fiki menerapkan konsep kolaborasi multisektor dengan memanfaatkan jaringan pertemanan untuk merekrut tenaga-tenaga kreatif lepas. Dari sinilah dihasilkan desain-desain unik yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

”Jadi, diharapkan orang bisa beli satu set. Ketika yang karakternya swirl lagi dalam suasana kesal bisa pakai desain yang scream. Atau, lagi anteng pakai yang logic,” ujarnya. Uniknya, desain yang diluncurkan akhir Agustus lalu dan menggandeng Prambors Radio di dalam promosinya ini memanfaatkan asap obat nyamuk sebagai obyek utama.

Bermodal kreativitas dan semangat independen, produk-produk Airplane Systm mampu menembus pasar internasional hingga ke 10 negara. Singapura dan Malaysia adalah dua negara yang rutin mengimpor produk ini. Bahkan, dalam waktu dekat, Airplane Systm membuka gerai di Perancis untuk membuka celah pasar di kawasan Uni Eropa.

Perusahaan

Airplane Systm hanyalah salah satu usaha yang dimilikinya. Di bawah perusahaan holding bernama Arrasy Indonesia, ia juga membantu pemula untuk merintis bisnis clothing dengan menggandeng sejumlah komunitas, seperti bikers melalui perusahaan layanan clothing (clothing service company) yang dibuatnya.

”Dengan ini, semua orang jadi bisa punya clothing,” tutur peraih Indonesia Berprestasi Awards 2008 kategori Wirausaha dari Pro XL ini.

Bersama-sama dengan arsitek Ridwan Kamil dan pemilik Common Room, Gustaff Iskandar, Fiki mendirikan Bandung Creative City Forum (BCCF)—sekarang bernama Perkumpulan Komunitas Kreatif Kota Bandung, yaitu wadah pelaku industri kreatif di kota kembang pada awal 2008. Kurang dari setahun, mereka memotori event besar bernama Helarfest 2008.

Festival yang berlangsung dua bulan penuh itu menampilkan 38 event dan puluhan potensi ekonomi kreatif dari kelompok akar rumput ini mengundang ancungan jempol dari luar, salah satunya British Council. Meskipun disebut-sebut panitia terpaksa harus nombok, merogoh kocek pribadi demi kegiatan ini, Fiki mengatakan, BCCF tetap siap melaksanakan Helarfest 2009 yang akan dilangsungkan November-Desember ini.

Biodata • Nama: Tubagus Fiki Chikara Satari • Lahir: Bandung, 3 Februari 1976 • Istri: Puti Nadia Indadewi Satari (26) • Anak: - Rezvan Aliannaqi Satari (3) - Asytar Aliazzaqi Satari (4 bulan) • Pendidikan: - Universitas Padjadjaran, S-1 Ekonomi - Universitas Padjadjaran, S-2 Manajemen • Penghargaan: - Wirausahawan Kreatif dari British Council Indonesia (2009) - Indonesia Berprestasi Awards 2008 kategori Wirausaha dari Pro XL. • Pengalaman bisnis: - Pendiri Airplane Systm Clothing (sejak 2000) - Komisaris PT Terakorp Indonesia (2002-2007) - Pemilik dan produser eksekutif label independen

MP4AI Records (sejak 2002) - Direktur CV Lintas Arrasy Indonesia yang bergerak di bidang perdagangan (sejak 2002) - Pemilik Cafe Tungku Budisari (sejak 2005)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/23/03145448/fiki.menolak.krisis.dengan.kreativitas<

52 Rumah Joglo Kotagede Terjual - Penjual Belum Tentu Golongan Ekonomi Lemah

Jumat, 18 September 2009 | 15:45 WIB

Yogyakarta, Kompas - Belum ada tindakan riil pemerintah daerah terhadap penjualan dan pemindahan rumah Jawa joglo dari kawasan Kotagede. Idealnya, pemerintah daerah mau berinisiatif membeli, ketimbang benda cagar budaya ini pindah ke luar Yogyakarta.

Hal itu dikatakan M Natsier, Ketua Yayasan Kantil" lembaga pelestarian dan pengembangan seni budaya di Yogyakarta, Rabu (16/9). "Sepanjang pemerintah tak berinisiatif membeli, satu demi satu joglo akan dipindah ke luar Yogyakarta," katanya.

Awal September, sebuah pendapa beratap joglo di Kampung Trunojayan dijual. Untung saja, pendapa tersebut dibeli warga Kotagede yang rumahnya hanya sekitar 100 meter dari lokasi awal.

"Joglo berukuran 8 meter x 8 meter itu dijual Rp 100 juta. Sepintas cukup tinggi harganya. Namun, jika dikalkulasi dengan kualitas kayu jati tua kelas satu, nilai uang joglo itu minimal Rp 300 juta. Tapi, dengan kenyataan bahwa joglo itu dibangun tahun 1850-an,nilai sejarahnyalah yang lebih utama," papar Natsier.

Yang mengherankan, menurut Natsier, pemilik bukan termasuk golongan ekonomi lemah. Penjual tersebut malah orang kaya yang ingin membangun rumah. Joglo itu dianggap mengganggu. "Itu artinya penjualan joglo tak semata karena butuh uang," katanya.

Sejak 1985 "saat maraknya orang membeli rumah kuno" hingga saat ini sudah 52 rumah joglo terjual. Sekarang di Kotagede hanya tersisa sekitar 150 rumah Jawa joglo dan 200 pendapa Jawa dan rumah Jawa beratap limasan. Bangunan-bangunan ini didirikan 1775-1935.

Sebelum kasus di Trunojayan ini, kasus sebelumnya terjadi bulan Juni. Sebuah pendapa dan dua rumah joglo di Jalan Mondorakan, jalan utama di Kotagede, dijual dan diangkut ke kawasan Puncak, Bogor, untuk keperluan perhotelan. Pemilik yang butuh uang menjual hanya Rp 380 juta. Padahal, nilai kayunya sendiri, diperkirakan Natsier, lebih dari Rp 1 miliar.

Cagar budaya

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta M Sudibyo menuturkan, mengenai urusan membeli jogloyang merupakan benda cagar budaya ini, pemerintah daerah jelas tidak kuat. "Mau bagaimana lagi. Ini memang dilematis. Tapi, dengan harga joglo yang ratusan juta rupiah, Pemkot Yogyakarta, Pemkab Bantul, dan Pemprov DIY pun merasa berat,"ujar Sudibyo.

Kepala Dinas Pariwisata DIY Tazbir berpendapat senada. "Pemprov DIY kalau memiliki dana untuk membeli lebih baik, ketimbang joglopindah ke luar Yogyakarta. Kami bisa memanfaatkan joglo-joglo itu untuk kepentingan pariwisata," kata Tazbir. (PRA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/15451594/52.rumah.joglo.kotagede.terjual

Harta Karun Emas Mandor, Kisah Penambangan Ratusan Tahun


KOMPAS/C WAHYU HARYO PS
Seorang warga melintas di dekat kubangan bekas penambangan emas tanpa izin di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. Sebelum ada operasi penertiban yang digelar kepolisian, ribuan penambang rakyat bekerja di wilayah itu.

Penambangan

Harta Karun Emas Mandor, Kisah Penambangan Ratusan Tahun

Kamis, 17 September 2009 | 02:59 WIB

Kawasan Mandor di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, seakan ditakdirkan mewarisi ”harta karun” emas yang ditemukan lebih dari 2,5 abad yang lampau. Pengamat sosial dari Kalbar, William Chang, dalam artikelnya pernah menuliskan, seorang pengembara dan pemimpin pekerja tambang dari negeri Tiongkok bernama Lo Fong Pak, saat datang pada 1772 menyebut kawasan ini sebagai ”gunung emas”.

Riwayat eksploitasi emas di kawasan Mandor sebenarnya dimulai sejak 1740. Kala itu Raja Panembahan Mempawah Opu Daeng Manombon mendatangkan pekerja tambang dari negeri Tiongkok untuk menambang emas di sana. Sebagian emas yang diperoleh diberikan kepada pekerja tambang dan sebagian lagi diserahkan kepada raja selaku pemilik wilayah.

Melihat hasilnya begitu menggembirakan, 10 tahun kemudian Sultan Abubakar Kamaluddin dari Kerajaan Sambas di pesisir barat laut Kalimantan mengikuti langkah Raja Mempawah itu dengan mengundang belasan ribu penambang dari Tiongkok ke kawasan Monterado. Bahkan, penambang-penambang itu diberi keleluasaan untuk membuat sebuah perkumpulan atau kongsi untuk mengelola potensi emas di sana. Kongsi-kongsi penambang emas pun berjamuran di wilayah itu.

Kesultanan Pontianak yang berdiri tahun 1771 juga tertarik untuk menikmati harumnya emas di Mandor sehingga merebut wilayah itu dari kekuasaan Panembahan Mempawah pada 1789.

Kuasa eksploitasi emas atas wilayah itu tetap diberikan kepada Kongsi Lan Fong yang dibesarkan Lo Fong Pak. Penguasaan oleh kongsi itu berlangsung hampir satu abad. Saat potensi emas itu mulai menipis, penambangan emas di sana perlahan mulai ditinggalkan.

Sang waktu terus berlalu, kisah harta karun emas di Mandor pun menarik perantau dari berbagai wilayah di Kalbar untuk mencari peruntungan. Remah-remah emas yang ditemukan di wilayah itu ternyata masih menggiurkan. Eksplorasi secara sporadis pun berkembang dengan pola penambangan menggunakan mesin diesel untuk menggali lubang-lubang di tanah maupun di pinggir sungai.

Kondisi ini mengubah wajah hutan Mandor dan sungai di sekitarnya yang semula asri menjadi sarat akan kerusakan lingkungan. Beban lingkungan semakin berat manakala penambang menggunakan logam berat merkuri untuk menyatukan butiran emas.

Camat Mandor Marius Baneng mengungkapkan, saat ini ada sekitar 300 unit mesin diesel yang digunakan penambang. Jika satu mesin digunakan oleh sekitar 10-15 penambang, maka total penambang di kawasan Mandor berkisar 3.000 orang.

Aktivitas PETI di Kabupaten Landak tidak hanya ada di Kecamatan Mandor, tetapi juga di Kecamatan Kuala Behe dan Serimbu. Camat Kuala Behe Herman Masnur mengungkapkan, di wilayah itu ada sekitar 50 unit mesin diesel yang digunakan untuk menambang, di mana setiap unit menyerap 6-8 penambang.

Bupati Landak Adrianus Sidot saat dihubungi menyatakan, penambangan emas di Kabupaten Landak menjadi persoalan manakala prosedur penambangannya justru menimbulkan kerusakan lingkungan. Persoalan makin pelik karena munculnya penambangan ini berkaitan dengan urusan perut masyarakatnya.

”Upaya mengalihkan mata pencarian masyarakat ke perkebunan karet rakyat dan pertanian sudah dilakukan pemda dalam dua tahun terakhir, namun diakui upaya itu juga belum optimal karena kemampuan pemda terbatas,” katanya.

Untuk mengakomodasi penyelesaian masalah ini, pihaknya juga tengah berupaya merancang peraturan daerah tentang wilayah pertambangan rakyat (WPR). Harapannya dapat diatur wilayah mana saja yang boleh dan tidak boleh ditambang oleh rakyat. Wilayah hutan, cagar alam, serta daerah aliran sungai, misalnya, tetap tidak boleh ditambang.

Raperda diharapkan juga mengatur tentang metode penambangan dan pembuangan limbahnya sehingga tidak merusak lingkungan. Raperda ini kemungkinan masih harus menyesuaikan ketentuan undang-undang pertambangan yang baru dan dibahas beberapa pekan mendatang. (why)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/02592567/harta.karun.emas.mandor.kisah.penambangan.ratusan.tahun

ARKEOLOGI - Sumur Mataram Kuno Ditemukan


KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Karsinah (58) mengukur kedalaman sumur kuno yang ditemukan tak sengaja dalam penggalian di lahannya, di Dusun Cibuk Kidul, Margoluwih, Seyegan, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (20/11).


Senin, 23 November 2009

Sleman, Kompas - Sebuah sumur yang diduga sumur pada zaman kerajaan Mataram Kuno ditemukan warga di kawasan persawahan, Dusun Cibuk Kidul, Margoluwih, Seyegan, Sleman, DI Yogyakarta. Sumur tersebut diduga bagian dari permukiman masyarakat kuno Mataram pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi.

Sumur itu terkubur sekitar 1 meter di dalam tanah. Seorang warga, Parman, menemukannya secara tidak sengaja saat menggali tanah liat untuk usaha batu bata, sekitar dua minggu lalu.

”Dia tidak memberitahukan kepada siapa pun soal penemuan itu sampai kemarin,” kata Karsinah (58), pemilik lahan yang menyewakan tanahnya kepada Parman, ketika ditemui di lokasi, Jumat (20/11).

Mulut sumur berdiameter sekitar 50 cm, kedalaman sekitar 1 meter. Tak seperti sumur umumnya, pinggirannya berlapis gerabah—bahan untuk membuat kendi. Di sekitarnya ada puluhan batu bata merah berukuran tiga kali lebih besar dari bata biasa dan dua arca kepala Nandi.

Beberapa bata dibiarkan berserakan di tepi kali kecil, sekitar 10 meter dari lokasi. Seorang warga dusun mengaku pernah memakai bata kuno itu sebagai pijakan jamban.

Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta Tri Hartono mengatakan, pihaknya masih meneliti sumur tersebut. Pihak BP3 Yogyakarta telah membawa sampel bata merah dan dua arca Nandi untuk penyelidikan lebih jauh.

Tri mengatakan, kemungkinan besar sumur itu berasal dari masa klasik abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, periode Kerajaan Mataram Kuno. Sumur diperkirakan bagian dari perkampungan. ”Di Kabupaten Bantul juga banyak ditemukan sumur serupa,” ujarnya.

Dugaan ini, lanjut Tri, didukung banyaknya temuan arkeologis lain di sekitar Kecamatan Seyegan. Soal kondisi terbengkalai, Tri menyatakan, pihaknya berkoordinasi dengan Badan Arkeologi Yogyakarta untuk penelitian, rencana sterilisasi, dan pengamanan lokasi itu. (ENG)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/23/03212088/sumur.mataram.kuno.ditemukan

Kebudayaan Belum Diperjuangkan


KOMPAS/LASTI KURNIA
Jero Wacik

Selasa, 20 Oktober 2009


SEMARANG, KOMPAS.com- Budayawan Agus Maladi di Kota Semarang, Selasa (20/10), mengatakan, pemerintah di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata selama lima tahun terakhir belum memperjuangan kebudayaan. Kebudayaan masih dipandang sebagai komoditas dagang yang dijual dalam kemasan wisata.

Agus yang juga pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang itu mengkritik kinerja Menteri Budpar Jero Wacik yang selama ini sukses memanajemen wisata tetapi tidak dapat mengembangkan budaya. Akibatnya, substansi kebudayaan kian luntur.

"Mungkin juga karena pengaruh latar belakang Jero Wacik yang dari sektor pariwisata. Namun, terlepas dari itu, seharusnya ada pemisahan antara bidang kebudayaan dan pariwisata. Dua bidang itu sangat berbeda," kata Agus.

Kebudayaan berbicara mengenai nilai-nilai, sedangkan pariwisata bicara tentang bagaimana mengelola aset, dan menjualnya untuk mendapat keuntungan. Karena itu, sulit ketika dua hal itu dijadikan satu.

Jero Wacik, menurut Agus, dapat dikatakan berhasil dalam mengelola wisata karena target secara angka dapat dicapai. Namun di sisi lain, itu menyebabkan kebudayaan Indonesia menjadi sekadar komoditas. Bahkan timbul rekayasa kebudayaan.

Budaya tidak dapat disederhanakan menjadi sebatas kesenian dan pertunjukan. Ketika pemahaman tentang budaya menjadi sempit, timbullah perasaan marah ketika ada klaim dari negara lain. "Diplomasi kebudayaan kita masih sangat kurang," ujar Agus.

Agus juga mengatakan, ketiadaan lembaga budaya memberi pengaruh besar terhadap merosotnya nilai-nilai budaya. Pemerintahan ke depan seharusnya memperhitungkan hal itu.

UTI

Editor: msh

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/10/20/19275028/kebudayaan.belum.diperjuangkan.

20 TAHUN TEMBOK BERLIN - Anekdot Era Komunis Tetap Hidup

Selasa, 3 November 2009

Moskwa, Senin - Runtuhnya komunisme seiring dengan dirobohkannya Tembok Berlin, 9 November 1989, tidak secara otomatis menghapuskan semua hal yang terkait dengan komunisme.

Humor-humor yang hidup semasa komunisme masih berjaya di Jerman Timur dan Uni Soviet ketika itu terus bertahan hingga saat ini. Bahkan, kerinduan akan humor-humor yang dulu dianggap subversif itu kini malahan mencuat kembali. Humor-humor itulah yang dulu menjadi pemersatu sekaligus penyemangat warga untuk tetap memperjuangkan runtuhnya komunisme di negeri mereka.

Humor-humor eks era komunisme itu kini menjadi pemersatu warga mulai dari Berlin hingga Moskwa. Mereka pun kini bisa menikmatinya sambil tertawa bebas.

Misalnya, ”Mengapa Uni Soviet memutuskan tidak mengirim manusia ke Bulan? Mereka takut orang-orang itu akan meminta suaka politik”.

Anekdot lain yang tak kalah lucu berhubungan dengan pemimpin terakhir Jerman Timur, Erich Honecker, yang memerintahkan seorang menterinya untuk merobohkan Tembok Berlin. Menteri yang digambarkan bodoh itu bertanya, mengapa? ”Saya tidak ingin sendirian,” jawab Honecker.

Humor-humor politik yang di Rusia disebut anekdoti itu tidak hanya berhubungan dengan para pemimpin politik saat itu, tetapi juga partai komunis yang sangat ditabukan pada masanya.

Salah satu anekdot, misalnya teka-teki ini. ”Apa yang memiliki 70 gigi dan empat kaki? Seekor buaya. Apa yang memiliki empat gigi dan 70 kaki? Komite Sentral Partai Komunis.”

Di Jerman Timur atau dulu disebut Republik Demokratik Jerman, anekdot-anekdot seperti itu disebut ”Witze”, yang kemudian lebih populer lagi dengan sebutan ”3-7 Witze”. Sebutan itu diambil dari hukuman penjara tiga tahun untuk mereka yang tertangkap mendengarkan humor subversif itu dan hukuman tujuh tahun untuk mereka yang menyebarkan humor tersebut.

Tidak hilang

Meski demikian, humor-humor sinis seperti itu tidak pernah hilang dari masyarakat. Bahkan, hukuman atas penyebarluasan anekdot politik ini juga dijadikan anekdot oleh sejumlah orang.

”Tahun ini mereka menyelenggarakan lagi Festival Humor-humor Politik. Hadiah pertama, 10 tahun liburan musim dingin di Siberia”.

Anekdot itu menyasar hukuman penjara di Siberia yang dikenal karena suhu dinginnya yang menyengat.

Dogma komunisme pun tidak luput jadi bahan banyolan. ”Kapitalisme adalah eksploitasi manusia oleh manusia. Komunisme adalah persis sebaliknya”.

Anekdot-anekdot lain juga merekam iklim ketakutan yang dialami rakyat di negara-negara blok komunis.

Salah satunya digambarkan dalam anekdot mengenai percakapan antara tiga teman di sebuah kamp pekerja Soviet.

”Saya terlambat bekerja lima menit dan didakwa dengan sabotase,” kata orang pertama.

”Saya lima menit lebih awal dan dihukum dengan dakwaan spionase,” kata orang kedua.

”Saya datang tepat waktu dan saya dituduh menyelundupkan jam tangan buatan Barat,” kata orang ketiga.

Bahkan, perang Soviet di Afganistan pada 1980-an pun tak luput jadi bahan ketawaan ketika orang-orang mempertanyakan, apa yang diperoleh Moskwa dari mengirimkan pasukan ke sana.

”Pasti ada sebuah strategi untuk menyebarluaskan surga komunis ke dunia. Uni Soviet memprosesnya secara abjad”.

Anekdot sinis berbau politik, nyatalah tak kenal takut dan hidup pada berbagai peristiwa.

Pada peringatan 65 tahun Revolusi Bolshevik (1917), yang diperingati meriah di Uni Soviet, banyak pembangkang membuat humor bahwa Uni Soviet akhirnya mencapai usia pensiun.

”Mana yang lebih baik, sebuah neraka komunis atau sebuah neraka kapitalis? Tentu saja jawabannya neraka komunis! Selalu terjadi kelangkaan korek api dan bahan bakar, pemanas selalu rusak, dan para iblis serta makhluk-makhluknya selalu sibuk dengan pertemuan-pertemuan partai,” demikian sebuah anekdot pada masa itu. (AFP/OKI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/03/04010641/anekdot..era.komunis..tetap.hidup

Sidang di Rumah Mangunwijaya

Kamis, 29 Oktober 2009

Semilir angin membuat sejuk ruang pertemuan di rumah budayawan YB Mangunwijaya Pr atau Romo Mangun, Minggu (25/10). Namun, sidang bagi para penulis muda di dalamnya berlangsung panas. Seorang remaja putri sedang menjadi terdakwa tercenung, tak mampu membela diri.

Adegan tersebut terjadi dalam Pelatihan Penulisan Kreatif yang diselenggarakan Persahabatan Wartawan Cilik Yogyakarta (PWCY) dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda 2008 dan dalam rangka memaknai 80 tahun YB Mangunwijaya. Sidang yang diikuti 20 peserta berusia 10-20 tahun itu merupakan salah satu sesi pelatihan di mana beberapa naskah para peserta diulas dan dikiritik.

Dihiasi poster besar Romo Mangun yang tergantung di dinding ruangan, Zheitta Vazza Devi (18), demikian nama lengkap remaja putri itu, menerima dakwaan dan penghakiman sekaligus. Wajahnya tertunduk lesu, sembari membolak-balik naskah tulisan terbarunya yang tengah dihujani kritik para hakim merangkap jaksa. Suara cadelnya yang sesaat lalu masih terdengar nyaring menimpali, kini terdiam.

Sepintas lalu, sidang itu terlihat bukan sidang yang adil. Di hadapan 20 rekannya, Vazza, demikian remaja tunarungu itu disapa, berhadapan dengan empat orang yang telah belasan tahun bergelut di bidang sastra. Namun, dengan menilik fakta bahwa tiga novel telah dia hasilkan, wajar Vazza duduk di kursi terdakwa.

Selama sekitar 30 menit, naskah tulisan terbaru Vazza berjudul Loverpool di Love Vegas menuai kritik pedas dari para hakim. Naskah novel setebal 17 halaman itu bercerita tentang kisah nyata yang Vazza alami sebagai remaja tunarungu. Sakit hati karena ejekan atau rasa terkucil karena berbeda terangkum di dalamnya.

Kritik-kritik yang terlontar terutama berkutat pada judul yang dia pilih. "Judul ini seperti hanya mengisahkan kisah percintaan remaja, padahal isi cerita tentang penemuan jati diri. Kesannya seksi, tetapi tidak sesuai dengan naskah. Jujur saya merasa tertipu," kata John de Santo dari ASMI Santa Maria Yogyakarta, yang siang itu turut menjadi salah seorang hakim.

Sama pedasnya, Editor Galang Press AA Kunto mengatakan, judul tersebut terkesan datar dan sama sekali tidak menyampaikan pesan. Padahal, meskipun pendek, judul buku seharusnya memberi gambaran akan pesan yang ingin disampaikan.

Kunto juga mengkritisi ego Vazza yang tecermin sangat kuat dalam tulisan. Karena ego itu, tulisan terkesan berceramah dan menggurui. Sidang Vazza siang itu ditutup nasihat dan saran Kunto yang cukup mendinginkan hati yang mulai panas. "Sebagai seorang penulis, kita harus terlebih dulu menyingkirkan ego kita," salah satu nasihatnya.

Tidak seperti sidang di pengadilan, sidang ini diakhiri keakraban dari senior dan yunior-yuniornya. Tidak ada sakit hati. Sesi selanjutnya pun menjadi ajang tukar ide untuk mengembangkan gagasan tulisan para peserta. Selain Vazza, 19 peserta dalam pelatihan itu rata-rata telah menghasilkan tulisan yang telah dimuat di berbagai media massa.

"Saya malah senang karena tahu di mana letak kekurangan saya," ujar Vazza di akhir sidang.

Pil pahit

Tak salah bila sidang itu diibaratkan dengan jamu atau pil pahit. "Pahit tetapi perlu demi kebaikan peserta. Sidang seperti ini akan terus berkesan pada orang yang karyanya dikritik," tuturnya.

Menurut Sutrisno, acara dimaksudkan untuk membina para penulis muda di Yogyakarta yang mempunyai potensi besar, tetapi kurang diketahui masyarakat. Besarnya potensi ini terlihat dari banyaknya hasil tulisan yang dihasilkan. Menurut pantauan PWCY, dalam sebulan anak-anak Yogyakarta mampu menghasilkan sekitar 30-50 tulisan yang diterbitkan di berbagai media massa.

Hal itu pula yang menjadi alasan peringatan Sumpah Pemuda PWCY yang berlangsung 24-26 Oktober itu mengambil tempat di rumah Mangunwijaya. Para penulis muda ini perlu mengenal nilai-nilai tokoh yang meninggal dunia tahun 1991 sebagai sumber inspirasi.

Di rumah setengah kayu berarsitektur tropis dengan bahan material bekas yang terletak di Gang Kuwera, Jalan Gejayan, Sleman, itu para penulis muda akan bersentuhan dengan kesederhanaan Mangunwijaya.

Para penulis muda itu juga akan memperoleh sedikit gambaran, dalam proses kreatifnya, Mangunwijaya tetap bergelut dengan masyarakat di perkampungan. Di rumah itu juga terlihat banyak koleksi Mangunwijaya yang bisa dibaca. "Saya berharap, dari perkenalan pertama ini, mereka akan lebih tertarik lagi dengan Romo Mangun," ujarnya.

Sutrisno mengatakan, sebagian besar penulis muda saat ini mengangkat tema-tema gaya hidup, keluarga, maupun percintaan. Tema-tema ini minim persinggungannya dengan masalah sosial atau tema-tema yang lebih dalam. Perkenalan dengan Mangunwijaya diharapkan membentuk kepekaan sosial dan kemanusiaan yang belakangan makin langkah tumbuh di kalangan remaja. (IRE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/11251614/sidang.di.rumah.mangunwijaya

Kreativitas Mesti Mengakar dari Budaya - Karya Rendra Menjadi Inspirasi Sumpah Pemuda

Kamis, 29 Oktober 2009

Bandung, Kompas - Globalisasi dan gaya hidup hedonis dewasa ini cenderung memasung kreativitas anak-anak muda, khususnya di bidang seni budaya. Sebelum terlambat, gerakan kembali ke tata nilai adat harus mulai diperkenalkan lagi kepada generasi muda.

"Kita berjuang untuk kemerdekaan, 81 tahun lalu. Tapi, saat ini tantangannya berbeda. Kita harus berjuang untuk berdiri sendiri. Berjuang agar kreativitas tidak mati," tutur seniman Aat Suratin dalam pembukaan Bandung Mengenang Rendra, Rabu (28/10) di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.

Acara yang dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, sejumlah seniman, dan perwakilan pemuda ini terkait pula dengan peringatan Sumpah Pemuda. Menurut Aat yang juga ketua penyelenggara acara ini, karya-karya Rendra selama ini memberikan inspirasi kaum muda tentang nasionalisme.

"Semangat Rendra menggambarkan kepada kita agar tidak pernah berhenti berkreasi. Tidak henti-hentinya pula dia mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga akal sehat. Tetapi, lihatlah sekarang, tidak ada lagi akal sehat ketika mahasiswa satu kampus menyerang mahasiswa lainnya," ia mengungkapkan keprihatinannya.

Yang tidak kalah memprihatinkan, tuturnya, kreativitas generasi muda dalam berseni saat ini seolah telah terpasung. "Gaya hidup, ekspresi, dan selera seni kita telah banyak didikte oleh kebudayaan asing. Bahkan estetika yang seyogianya adalah hal individu juga telah terpengaruh," ucapnya.

Krisis identitas

Keprihatinan senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan. Ia mengatakan, masyarakat, khususnya kaum muda, kini mengalami krisis identitas. "Kita telah pergi meninggalkan identitas kita, sementara sistem tata nilai dari luar tidak bisa sepenuhnya diambil. Kita jadi mengambang, tidak jelas," paparnya.

Dalam diskusi "Hukum Adat dalam Perspektif Kebangsaan" yang merupakan rangkaian acara Bandung Mengenang Rendra, ia pun mengkritisi jargon ekonomi kreatif yang kini didengung-dengungkan di banyak kota, khususnya Bandung. Menurut dia, ekonomi kreatif akan menjadi percuma, kehilangan arah, jika tidak mengakar pada budaya.

Ia mencontohkan kondisi ekonomi sekarang yang dipenuhi berbagai persoalan macam krisis energi, pangan, bahkan isu perubahan iklim. "Pembangunan demikian tidak akan membawa kita keluar dari krisis. Sebaliknya, praktik di komunitas adat, macam Kampung Naga, Ciptagelar, atau Badui, selama ini terbukti justru tidak pernah terlibat krisis-krisis itu," ungkapnya.

Pendidikan, menurut dia, memiliki pengaruh yang besar terhadap mulai lunturnya identitas kebangsaan generasi muda saat ini. "Sistem pendidikan kita saat ini tidak memberi ruang atau mendorong tata nilai adat hidup di masyarakat. Malahan, berlomba-lomba mengadopsi dari luar," tuturnya.

Dalam acara ini, Dede Yusuf membacakan "Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api" karya WS Rendra. Dengan penuh penghayatan ia membawakan sajak yang berkisah tentang ironi mantan pejuang Bandung Lautan Api.

"Dahulu, sejumlah karya seni seperti yang diciptakan Rendra merupakan bagian dari alat perjuangan, ketidakpuasan terhadap kondisi. Sekarang seni itu mestinya tetap dapat menjadi alat perjuangan, misalnya menyuarakan kemiskinan," ucap Dede. (jon)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/12532767/kreativitas.mesti.mengakar.dari.budaya

Kepariwisataan - Pariwisata Belum Berorientasi Industri

Kamis, 29 Oktober 2009

BANDUNG, KOMPAS - Pengelolaan sektor pariwisata di Jawa Barat dinilai masih lemah karena belum dikerjakan dengan manajemen yang profesional layaknya sebuah industri. Bahkan, banyak pula obyek wisata yang dikelola aparatur daerah Jabar dengan kemampuan pas-pasan.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, dalam pemaparan rencana kerja daerah, Rabu (28/10), mengatakan, kondisi itu akan diubah dengan paradigma baru. "Obyek wisata seharusnya tidak sekadar menampilkan keindahan alam. Lokasi wisata harus dikembangkan dengan memerhatikan pelayanan kepada konsumen atau wisatawan layaknya di dunia komersial," katanya.

Paradigma industri dan komersial juga harus diterapkan untuk mengelola seni dan budaya lokal. Selama ini masih banyak kekayaan seni dan budaya Jabar, seperti tari-tarian dan upacara adat, yang dibiarkan tumbuh berkembang sendiri tanpa sentuhan profesional.

Ia juga mencontohkan Bali sebagai daerah yang mampu mengoptimalkan potensi wisatanya dan bahkan menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar. Kondisi itu berbeda dengan Jabar yang kontribusi PAD dari sektor pariwisata masih di bawah 5 persen. Untuk itu, pengembangan budaya lokal dan destinasi wisata dimasukkan dalam 10 program utama daerah pada tahun 2010.

Mulai 2010

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Herdiwan mengakui, pengembangan pariwisata dengan manajemen industri memang belum optimal di Jabar. "Upaya ke arah sana akan dimulai tahun 2010, antara lain dengan pembangunan gedung pertunjukan seni yang representatif di Bandung," katanya.

Gedung kesenian itu rencananya dibangun di kawasan Arcamanik, yakni berdekatan dengan Gelanggang Olahraga Arcamanik. Biaya awal pembangunan gedung pertunjukan itu sekitar Rp 50 miliar. Itu ditargetkan bisa setara dengan Taman Ismail Marzuki di Jakarta.

"Dengan adanya gedung kesenian yang representataif, pertunjukan seni dan budaya Jabar diharapkan lebih sering dilakukan. Hal itu juga akan diikuti dengan penataan yang lebih profesional, misalnya pengaturan tata panggung, pencahayaan, atau koreografi pertunjukan," ujarnya.

Pengamat budaya Halim HD mengingatkan pemerintah daerah jangan hanya mengejar keuntungan ekonomis dari pengembangan seni dan budaya. "Keberadaan gedung-gedung pertunjukan harus juga menjadi wahana pelestarian seni dan budaya, misalnya dengan penampilan dan pengajaran seni-seni tradisi," paparnya.

Halim menambahkan, dampak ekonomis dari kelestarian seni dan budaya akan terasa bagi daerah sekitar. Sebab, kelestarian seni dan budaya lokal akan menarik perhatian wisatawan. (REK)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/11183511/pariwisata.belum.berorientasi.industri

Festival Film Animasi - Saat Animasi Masuk Desa

Kamis, 29 Oktober 2009

Sejumlah anak muda terdiam dan larut dalam imajinasi mereka masing-masing saat mendengarkan sebuah lagu. Lagu religi ciptaan Muslich yang bercerita tentang suka cita keluarga dalam merayakan Lebaran seperti menjadi inspirasi anak-anak muda itu.

Pandangan salah satu peserta workshop, Eliana (15), sempat menerawang ke langit-langit ruangan. Lantas ia dengan cepat menuangkan ke dalam tulisan singkat. Beberapa saat kemudian muncul sosok karakter perempuan berjilbab di atas kertasnya. Nantinya, karakter ciptaan mereka inilah yang dijadikan tokoh dalam film animasi.

Sepanjang Rabu (28/10), begitulah kesibukan peserta workshop yang digelar dalam rangkaian kegiatan Festival Film Animasi Indonesia 2009. Bertempat di sebuah ruangan milik Grabag TV, Kecamatan Grabag, Magelang, selama tiga hari, sejak Rabu (28/10) sampai Jumat (30/10), mereka berlatih melahirkan film animasi sederhana berdurasi empat menit. Proses dimulai dari penggalian ide. Lantas dengan teknik cut out, ide dituangkan dalam bentuk gambar yang disusun menjadi kolase dan direkam dengan still photo. Tahap berikutnya, peserta akan menggabungkan gambar dengan perangkat komputer untuk menghidupkan setiap karakter.

Eliana mengakui, pelatihan kali ini merupakan pengalaman pertamanya membuat animasi setelah sebelumnya hanya bisa menonton lewat televisi. Peserta lainnya, Mahrus (25), pun mengatakan ingin terus mengembangkan ilmu yang didapat selama pelatihan. Angkat budaya lokal

Memberikan pengalaman baru bagi peserta tersebut merupakan misi kecil Festival Film Animasi ini. Ada keinginan berbagi ilmu hingga jauh ke desa. Menurut Direktur FFAI 2009 Gotot Prakosa, animasi diperkenalkan sebagai edukasi membangun kreativitas di desa-desa. "Kita memiliki banyak cerita berbasis budaya seperti wayang atau relief candi yang bisa dijadikan ide," ujar Gotot.

Pelatihan animasi di sejumlah desa itu merupakan usaha untuk mengangkat cerita yang lebih dekat dengan kebudayaan lokal, seperti dari cerita dan sisi visual yang bermuatan lokal. Selama ini animasi di Indonesia lebih banyak berkiblat ke Jepang. Gotot mencontohkan teknik animasi yang diajarkan dalam workshop tersebut hampir seperti wayang kulit, yaitu berupa animasi bayangan dua dimensi.

Salah satu mentor dari Finlandia, Bernice, yang selalu memutari meja untuk melihat karya peserta mengatakan, kesabaran menjadi kunci penting dalam membuat animasi. (Raditya Mahendra Yasa)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/14435363/saat.animasi.masuk.desa

PUISI SUMPAH PEMUDA DI KERETA

Regol
Kamis, 29 Oktober 2009

Sepuluh mahasiswa Pharmaceutical Entertainer Universitas Islam Indonesia memperingati Sumpah Pemuda dengan membaca puisi di Kereta Api Prambanan Ekspres Solo-Yogyakarta, Rabu (28/10). Kegiatan dikaitkan dengan Bulan Bahasa dan Sastra sepanjang Oktober. Dua puisi Karawang Bekasi (Chairil Anwar) dan Indonesia, Tanah Tumpah Darahku (Muhammad Yamin) dipilih. Pembacaan diiringi lagu Bagimu Negeri karya C Simanjuntak dinyanyikan paduan suara Pharmaceutical Entertainer UII. Pembina acara, Sukir Satrija Jati mengatakan, puisi Chairil dan Yamin dipilih karena mewakili sosok generasi muda yang berjuang melalui bahasa dan karya sastra pada zamannya. (IRE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/14450823/regol

Kondisi Museum di Yogyakarta Memprihatinkan

Kondisi sebagian besar museum di Daerah Istimewa Yogyakarta memprihatinkan. Selain tingkat keamanan yang rendah, museum juga belum mempunyai ruang penyimpanan koleksi dan laboratorium konservasi yang layak. Akibatnya, ratusan koleksi bernilai tinggi terancam hilang atau rusak. Kepala Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta Djoko Dwiyanto, Selasa (27/10), mengatakan, dari 36 museum yang ada di DIY, belum satu pun yang mempunyai ruang penyimpanan ataupun laboratorium konservasi yang layak. Pengelola museum sekadar menumpuk koleksi yang tidak dipamerkan atau membiarkan koleksi di ruang terbuka. (IRE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/03532635/langkan

Bersama Joanna, Keroncong Mendunia


KOMPAS/NELI TRIANA

Kamis, 29 Oktober 2009

Neli Triana

Sebuah penampilan tak terduga membuat penonton terperenyak pada pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009 di Konzerthaus, Berlin, Jerman, Rabu (7/10). Lampu penerang di tempat duduk penonton meredup, berganti sorotan sinar langsung ke tengah panggung. Tampak berdiri seorang perempuan kulit putih dan intro lagu keroncong ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” terdengar.

Dari mulut perempuan itu, Joanna Dudley, lirik lagu ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” disenandungkan. ”Di bawah sinar bulan purnama… air laut berkilauan… berayun-ayun ombak mengalir… ke pantai senda gurauan…”

Penampilan Joanna terbilang unik. Ia mengenakan kimono, pakaian khas Jepang, kontras dengan para pemusik pengiring yang berpakaian formal. Suaranya menggema di ruangan Konzerthaus, berpadu dengan suara berbagai alat musik membuat penonton terpukau.

Memang ada beberapa pengucapan yang ”keseleo lidah”, tetapi cengkok keroncong Joanna terasa pas. Orang teringat penampilan Sundari Soekotjo dan Waldjinah.

Di tengah pertunjukan, seperti tersadar, sebagian penonton buru-buru merekam penampilan Joanna. Tepuk tangan bergemuruh di Konzerthaus saat Joanna mengakhiri lagunya.

Tak kurang Gubernur Negara Bagian Berlin Klaus Wowereit memberi tepukan penghormatan dan menyambut salam Joanna dari atas panggung. Joanna lalu menggeser langkahnya. Ia beringsut pelan-pelan hingga hilang di balik panggung, tanpa pernah memalingkan wajah dari penonton. Senyumnya terus berkembang.

Didikan Waldjinah

”Saya rasa keroncong adalah musik terindah. Pertama kali mendengarnya beberapa tahun lalu, langsung membuat saya jatuh cinta dan ingin belajar menyanyikannya,” kata Joanna.

Joanna mengisahkan, dia mendengar lagu keroncong saat berada di Adelaide, Australia, sekitar lima tahun lalu. Selain sering didendangkan di konser musik lokal di kampus oleh mahasiswa, ternyata banyak penyanyi dan musikus keroncong asal Indonesia yang diundang ke Australia. Mereka menjadi bintang tamu pertunjukan atau sebagai pengajar. Berawal dari sini, Joanna makin tertarik pada keroncong dan berniat belajar dari ahlinya.

Setelah mencari tahu, perempuan kelahiran London, Inggris, ini menemukan nama Waldjinah, maestro keroncong asal Solo, Jawa Tengah. Tanpa berpikir panjang, dia berupaya menghubungi Waldjinah. Gayung bersambut, keinginan Joanna untuk belajar keroncong diterima Waldjinah.

Pada 2005 hingga 2009, perempuan yang tinggal dan bekerja di Australia dan Jerman ini bolak-balik ke Solo untuk berguru keroncong. Seperti perasaannya terhadap keroncong, Joanna pun jatuh cinta pada Kota Solo. Di Solo, aura tradisionalnya masih kental dan mendukung suasana hati Joanna yang bersemangat memperdalam keroncong.

”Sudah 4,5 tahun ini saya belajar. Bagi saya, Waldjinah bukan cuma guru, tetapi seorang master. Ia mengajari saya menjiwai lagu, memahami dan menyelami maknanya, kemudian menyanyikannya dengan lafal bahasa Indonesia yang benar. Tentu saja masih banyak kekurangan dan kesalahan yang saya lakukan. Saya belum akan berhenti belajar,” katanya.

Setelah beberapa waktu berlatih, Joanna sempat berkeringat dingin ketika Waldjinah memintanya menyanyikan sendiri lagu-lagu keroncong yang dipelajarinya di hadapan penonton. Apalagi ketika dia diminta membawakan lagu ”Bengawan Solo” di hadapan Gesang, saat perayaan ulang tahun ke-90 maestro keroncong itu, pada Oktober 2007.

Tidak berhenti

Joanna tidak mau berhenti pada satu titik. Dari awal, ia memiliki ketertarikan pada dunia seni pertunjukan. Ia hidup di Australia dan Jerman sebagai artis, musisi, sekaligus penyanyi. Ia mengasah bakat di bidang musik dengan bersekolah di Adelaide Conservatorium di Australia, kemudian di The Sweelink Conservatorium di Amsterdam, Belanda. Khusus untuk belajar alat musik flute, ia belajar di Tokyo, Jepang.

”Sesuatu yang baru dan kita kuasai sungguh-sungguh bisa dikolaborasikan dengan ilmu yang lebih dulu kita miliki. Kolaborasi ini akan menelurkan karya baru. Karya baru yang berbeda dan bermakna tersendiri. Dalam dunia seni, eksplorasi tidak boleh berhenti,” kata Joanna.

Berbagi ilmu juga menjadi prinsip hidupnya. Ia bukan sosok yang pelit soal ilmu, terbukti pada jadwal mengajar yang selalu terselip di antara segudang kesibukannya. Ia mengajar di akademi seni di Sierre, Swiss; akademi seni di Berlin, Jerman; dan di The Centre for Performing Arts TAFE and Elder Conservatorium di Universitas Adelaide, Australia. Dia mengajarkan berbagai disiplin seni murni, berbagai aliran tari, musik, dan pertunjukan teater.

Aktivitasnya di dunia teater dan imajinasinya yang dibiarkan terus tumbuh liar memunculkan sederet karya berkarakter kuat. Penampilan solo maupun kolaborasi dengan seniman atau artis dari berbagai negara sudah digelar di Australia, di banyak negara di Eropa, Benua Amerika, serta Asia.

Beberapa pementasan Joanna yang memadukan kepiawaiannya berakting, menari, dan menyanyi antara lain muncul lewat pertunjukan berjudul My Dearest My Fairest, The Scorpionfish, dan Who Killed Cock Robin? Karya kolaborasi lainnya, Tom’s Song, yang dipresentasikan di Festival Sonambiente, Berlin, 2006, mendapat penghargaan dari kritikus seni.

Budaya Jawa menjadi hal baru yang dia pelajari. Ia merasa sudah menyatu dengan keroncong. Kelekatan hubungannya dengan Waldjinah juga membawa Joanna mengenal sekaligus terkagum-kagum pada langgam Jawa dan musik gamelan. Penguasaan atas langgam Jawa dan gamelan menjadi obsesi Joanna selanjutnya.

”Saya juga mengenal kebaya dari Waldjinah. Pakaian tradisional ini mengagumkan, bisa menampilkan kesan anggun, feminin, dan cantik. Ini juga sebuah karya seni yang agung, dengan detail model, kain batik, sampai sanggulnya. Duh, saya senang sekali memakai kebaya,” ujarnya.

Di ujung acara pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009, Joanna sengaja berkebaya dan kembali bersenandung, ”Bengawan Solo… riwayatmu ini… sedari dulu jadi... perhatian insani...” Joanna, seperti halnya keroncong, kembali menyedot perhatian publik saat itu. Ini salah satu gambaran budaya Indonesia yang mendunia.


***




JOANNA DUDLEY

• Lahir : London, Inggris, 1971

• Pendidikan musik :
- Adelaide Conservatorium, Australia
- The Sweelinck Conservatorium, Belanda
- Seruling dan lagu klasik tradisional Jepang di Tokyo, Jepang
- Gamelan dan keroncong di Solo, Jawa Tengah

• Karier : Dia tinggal dan bekerja di Jerman dan Australia sebagai artis, musisi, dan penyanyi. Ia tengah bekerja di Schaubühne Theatre di Berlin, Jerman

• Karyanya antara lain :
- ”My Dearest My Fairest” (2000), bersama Juan Kruz Diaz Garaio de Esnaol
- ”He Taught Me to Yodel” (2002)
- ”Colours May Fade With Friction Read Instructions Carefully Store In A Cool and Dry Place No Side Effects” (2004)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/04011079/bersama.joanna.keroncong.mendunia

PENTAS MUSIK DAN PAMERAN - Dahsyat, Etnik di Panggung Krakatau



Kompas/Lucky Pransiska
Penampilan Dwiki Dharmawan bersama grup musik Krakatau di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/10). Kelompok musik yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, tahun 1984 tersebut kini beranggotakan Dwiki Dharmawan (keyboard dan synthesizer), Pra Budi Dharma (bass), Ade Rudhiana (kendang dan perkusi), Yoyon Dharsono (beragam instrumen tradisional), Zainal Arifin (gamelan dan perkusi), Gerry Herb (pemain drum), dan vokalis Nya Ina Raseuki, yang akrab dipanggil Ubiet.


Jumat, 23 Oktober 2009

Nyanyian ”Tarik Pukat” yang dieksplorasi Ubiet dari tanah leluhurnya, Aceh, menjadi antiklimaks pertunjukan Krakatau Band, Kamis (22/10) malam di Bentara Budaya Jakarta.

Bagaimana tidak, Dwiki Dharmawan dalam aksinya sampai terjengkang saat memainkan keyboard karena lagu yang didendangkan Ubiet ”dimain-mainkan” dalam tempo tinggi dan supercepat. Ratusan penonton, yang memadati halaman terbuka BBJ, terdiam bak terhipnotis.

Klimaks penampilan Krakatau Band terjadi saat Budhy Haryono menggebuk drum untuk memainkan komposisi ”Tugu Hegar”. Permainan yang dahsyat.

Aksi Budhy kemudian ditingkahi aksi Ade Rudhiana memainkan perkusi dengan kocak, sampai-sampai memukul kening segala. Dia menjadikan kening tempat sandaran perkusi, sembari tangannya liar menabuh perkusi, membuat aksi panggung Krakatau menjadi sangat hidup. Apalagi, penonton diajak turut berpartisipasi dengan bertepuk tangan.

Berkarya selama 25 tahun, Krakatau menunjukkan kepedulian dan empati yang dalam terhadap korban gempa di Kerinci, Jambi. Sebuah komposisi didendangkan Ubiet membuat bulu roma berdiri. Terasa benar kesedihan itu.

”Komposisi tadi didedikasikan untuk korban gempa di Sumatera dan Jawa Barat. Komposisi yang berisikan doa, agar selalu ingat dengan Yang Di Atas. Mendoakan korban agar dapat tempat terbaik di sisi-Nya dan berharap ke depan tak ada bencana lagi,” ujar Dwiki.

Selain mengeksplorasi warna musik etnik Kerinci, Krakatau juga menampilkan hasil eksplorasi musik etnik dari Pulau Rote, NTT.

Yang sedikit mengejutkan, Umi menampilkan tarian topeng cirebon dalam tiga karakter ketika Krakatau memainkan komposisi yang sebelumnya didominasi permainan seruling sunda oleh Yoyon Dharsono, dalam empat warna, pascadilepasnya satu per satu bagian dari seruling itu.

Tampil hampir dua jam, setelah hujan reda, Krakatau menutup pementasan dengan komposisi ”Freedom of Percussion” setelah komposisi ”Spirit of Palmerah”.

Krakatau tidak hanya menampilkan harmonisasi komposisi yang dahsyat dan memukau, tetapi juga interaksi yang padu, dan aksi panggung yang menghibur. (YURNALDI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04012089/dahsyat.etnik.di.panggung.krakatau

NABIL AWARD - Tiga Peneliti mengenai Tionghoa Terima Penghargaan

Jumat, 23 Oktober 2009

Jakarta, Kompas - Tiga peneliti yang aktif meneliti masalah integrasi etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia mendapat penghargaan dari Yayasan Nabil. Mereka dianggap berjasa dalam upaya integrasi dan proses pembangunan bangsa (nation building), baik dengan karya tulis ilmiah, penelitian, ceramah akademisi, maupun dalam pergaulan keseharian mereka.

Ketiga peneliti itu adalah Dra Myra Sidharta dan Mely G Tan, PhD (keduanya dari Indonesia) serta Prof Charles A Coppel (peneliti dari Australia). Penyerahan penghargaan dilakukan di Jakarta, Kamis (22/10).

Menurut Eddie Lembong, Pendiri dan Ketua Yayasan Nabil, pemberian penghargaan ini sebagai ungkapan terima kasih atas upaya memperkuat rantai kebangsaan yang telah dilakukan. ”Ingat, kekuatan sebuah rantai ditentukan oleh mata rantai yang paling lemah,” ujar Eddie Lembong.

Dalam penghargaan yang diselenggarakan untuk ketiga kalinya ini, untuk pertama kalinya diberikan kepada para peneliti dari Indonesia. Sebelumnya peraih penghargaan ini berasal dari Perancis, Amerika Serikat, dan Singapura.

Dalam pidato pertanggungjawaban penganugerahan Nabil Award 2009, Prof Dr Saparinah Sadli selaku Dewan Pakar Yayasan Nabil mengatakan, Myra Sidharta sangat besar peranannya dalam historiografi sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia. Upaya Myra telah dilakukan sejak pemerintahan Orde Baru, yang menabukan hal-hal yang berbau Tionghoa.

”Dalam kurun waktu 30 tahun, Myra Sidharta dengan tekun serta konsisten memberikan kontribusi penting dalam menunjukkan peranakan Tionghoa sebagai bagian integral dari sejarah bangsa Indonesia,” kata Saparinah.

Sebagai sosiolog, Mely G Tan juga dianggap banyak berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Mely meneliti etnis Tionghoa dan kaitannya dengan asimilasi, identitas, dan diskriminasi.

Pembangunan keseluruhan

Dia tidak hanya membahas pada tataran antarmasyarakat Tionghoa sendiri atau hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lain serta negara semata, tetapi juga berkaitan dengan masalah pembangunan Indonesia secara keseluruhan. ”Semua yang dilakukan Mely bermanfaat bagi proses nation building,” tutur Saparinah.

Sementara itu, Associate Prof Charles A Coppel dinilai sebagai salah satu dari sedikit sarjana luar negeri yang mengkaji etnis Indonesia-Tionghoa. Dalam berbagai studinya, Coppel mengingatkan pentingnya memahami minoritas Tionghoa dari sudut pandang budaya dan tidak melulu jatuh dalam kerangka politik kekuasaan.

”Masyarakat peranakan telah memberikan sumbangsih di berbagai bidang. Tidak bisa lagi mereka dibedakan menjadi kelompok yang lain atau satu komunitas yang terpisah dari Indonesia yang luas ini,” kata Saparinah. (ARN/ONG)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/03595145/tiga.peneliti.mengenai.tionghoa.terima.penghargaan

GRAFITI DAN MURAL - Seni Tembok Tak Lagi Sembunyi

Jumat, 23 Oktober 2009

Sore itu Movvr9, atau nama aslinya Fachri Daswianto, siswa SMA Perguruan Rakyat II Jakarta Timur, jauh-jauh dari Jatiwaringin, Jakarta Timur, main ke kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Misinya satu: meninggalkan jejak di tembok bagi klan yang dibangunnya, Great Hazard Klan.

Fachri adalah salah satu anggota ”tembok bomber”, sebutan keren bagi para seniman grafiti Indonesia. Dia pernah menjuarai kompetisi grafiti di ajang UrbanFest tahun lalu. ”Saya juara satu tahun lalu,” katanya.

Tahun ini Fachri menjadi artist utama dalam grafiti UrbanFest 2009 yang digelar di Ancol, 24-25 Oktober. Bersama teman-temannya, dia akan mendemonstrasikan keahliannya.

Semakin terarah

Di tembok sekitar perumahan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, bersama Suhelmi, teman satu klan, Fachri kembali mengunjungi tempat itu untuk kesekian kalinya. Di tembok itulah pertempuran kreativitas seni tembok terjadi hampir tiap pekan, bahkan tiap hari.

”Ini tembok legal untuk grafiti. Di sini banyak seniman, termasuk dari luar negeri. Saya sudah lima kali ke sini. Di tembok ini intensitas grafiti dan muralnya tinggi, hanya beberapa hari gambar kita sudah ditimpa orang lain,” katanya.

Apa sering terjadi perebutan daerah kekuasaan? ”Oh tidak, kami saling mengerti saja. Yang penting, kalau menimpa gambar orang, harus bagus dan rapi, jangan asal coret, itu vandalisme namanya. Kami memegang etika berkarya seni,” kata Fachri.

Oh, grafiti tak lagi menganut vandalisme tembok? ”Ya, kami makin terarah setelah sering ketemuan, silaturahim sesama artist. Kami saling mengingatkan lewat forum internet ataupun langsung ketemu,” ujarnya.

Tapi, di tembok sekitar 50 meter itu di beberapa tempat masih banyak coretan. ”Iya, di forum internet pembuat coretan itu lagi dicari,” kata Fachri.

Jika ketemu, pelaku akan dinasihati agar tak mengulangi aksinya. ”Cara seperti itu efektif, saya dulu pernah mencari pelaku vandal dan setelah ketemu saya nasihati, ternyata dia tak mengulangi perbuatannya dan jadi artist baik-baik,” tambah Fachri.

Tak harus pemberontakan

Seiring meningkatnya kesadaran estetika tembok, beberapa artist kini semakin terorganisasi dan terkoneksi dari kota satu ke kota lain, bahkan antarnegara. Mereka berbagi pengalaman dan saling memamerkan karya mereka di internet.

Di Jakarta, mereka sedang menggandrungi mural. ”Kalau mural itu, rasanya lebih puas karena orang akan mengenal karakter kita,” kata Suhelmi, yang dikenal dengan nickname Etcom dan kini kuliah di Ilmu Komputer Universitas Gunadarma, Jakarta.

Tema-tema yang diangkat makin beragam. Tak harus tema pemberontakan. Mereka akrab dengan tema damai, seperti lingkungan hidup dan budaya. ”Saya pernah membuat mural batik. Jadi, mural itu tak harus membuat karakter sangar,” kata Suhelmi.

Para orangtua dan teman-teman mereka pun mulai melek soal grafiti dan mural. ”Orangtua saya tadinya tak mendukung, tetapi begitu saya menjuarai beberapa kompetisi mereka mendukung. Kalau sekolah sih, memang tak mendukung sampai sekarang,” jelas Fachri.

Di ajang pertemuan berbagai budaya kota, mereka akan unjuk kebolehan. Jika pengin tahu aksi mereka, datang ke acara UrbanFest 2009. (Amir Sodikin)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04020940/seni.tembok.tak.lagi.sembunyi

SITUS SEJARAH - Situs Sindangbarang Bogor Terancam Hilang

Jumat, 23 Oktober 2009

Bogor, Kompas - Aktifnya biong (spekulan) tanah menawar lahan milik warga di Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, membuat tokoh adat dan Pemerintah Kabupaten Bogor resah. Pasalnya, di desa itu terdapat banyak situs sejarah yang belum tuntas penelitiannya atau malah belum sempat diteliti.

Hal ini disampaikan Wakil Bupati Bogor Karyawan Faturachman di Cibinong, Kamis (22/10). Pihak pemerintah kabupaten sudah mengetahui maraknya transaksi tanah di Desa Pasireurih yang banyak menyimpan situs Sindangbarang Bogor.

”Memang ada perusahaan pengembang yang berencana menguasai lahan sampai ke Gunung Salak. Namun, perusahaan itu belum mengajukan secara resmi permohonan izin lokasi dan lain-lainnya. Mereka baru membangun di Kota Bogor dan berencana perluasannya sampai ke kawasan wisata di Gunung Salak,” tuturnya.

Menurut Faturachman, biasanya perusahaan membeli tanah lebih dulu, baru kemudian mengajukan permohonan izin untuk berinvestasi.

”Kami imbau agar perusahaan dan masyarakat dalam aktivitas jual beli lahan di daerah bersitus memerhatikan juga pentingnya menjaga dan melestarikan situs tersebut,” katanya.

Faturachman mengatakan, kewenangan atas situs benda cagar budaya atau sejarah berada di pemerintah pusat, yaitu Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, APBD pun tidak bisa mengalokasikan dana, misalnya untuk membeli lahan atau memagari lokasi situs cagar budaya.

”Kami harus memilih, uang APBD untuk pelestarian situs atau membangun gedung SD. Kami tentu saja pilih membangun gedung SD,” ujarnya.

Sejumlah warga mengungkapkan, beberapa orang kepercayaan spekulan tanah mulai menawar lahan mereka.

”Di Kampung Cibeureum sudah banyak yang menjual tanahnya. Kalau di sini, belum ada yang mau jual tanahnya,” kata Solihin, warga setempat.

Atang, warga Kampung Sindangbarang, mengaku, memang ada orang yang memintanya untuk menjadi perantara pembelian tanah penduduk di kampungnya. Di antara lahan yang jadi incaran itu, diakuinya memang terdapat banyak situs Sindangbarang yang lokasinya terpencar.

”Namun, lahan yang ada situsnya itu adalah lahan pribadi milik warga, bukan lahan pemerintah,” ujarnya.

Tokoh adat Sindangbarang Bogor, Achmad Mikami Sumawijaya, mengatakan, di Desa Pasireurih terdapat sekitar 100 lokasi situs.

”Hanya belasan yang sudah dicatat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang,” katanya.

(RTS)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04385131/situs.sindangbarang.bogor.terancam.hilang

Sudah 10 Investor Tertarik Masuk - Pedagang Lama Pasar Tradisional Diprioritaskan

Jumat, 23 Oktober 2009

Jakarta, Kompas - Sekitar sepuluh pengembang mulai menunjukkan ketertarikan atas gagasan pembangunan ulang sejumlah pasar tradisional. Alasannya karena sebagian pasar terletak di daerah yang strategis sehingga berpotensi mendatangkan keuntungan.

Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis, Rabu (21/10), mengatakan, para pengembang mulai merespons rencana pembangunan ulang pasar. ”Beberapa pengembang sudah meminta data tentang pasar, seperti luas tanah serta status kepemilikan tanah di pasar itu,” ucap Djangga.

PD Pasar Jaya berencana membangun ulang sejumlah pasar yang bangunannya sudah tua dan rusak, seperti Pasar Bendungan Hilir, Pasar Rumput, sebagian Pasar Senen, dan Pasar Pramuka. Rencananya, bangunan pasar akan ditambah dengan hotel atau perkantoran. Tambahan bangunan ini diharapkan mampu menambah pemasukan sehingga dapat terjadi subsidi silang dalam biaya operasional pasar.

Untuk membangun ulang pasar, PD Pasar Jaya membuka kesempatan bagi siapa pun. Selain itu, pengembang dipersilakan mengajukan proposal rencana pembangunan pasar yang dikehendaki. Hingga kini, belum ada pengembang yang mengajukan proposal.

Djangga mengaku tidak memiliki prioritas atau target pembangunan ulang pertama. ”Bila ada pengembang yang bisa mengajukan tawaran paling baik, kami akan segera mulai pembangunan pasar yang ditunjuk,” ujar Djangga.

Pembangunan ulang pasar akan diarahkan untuk menciptakan pasar tradisional yang nyaman untuk berdagang, sekaligus mengoptimalkan lahan yang selama ini hanya digunakan sebagai pasar. Tamu hotel atau pekerja kantor yang nantinya menempati bangunan tambahan pasar akan menjadi pembeli potensial bagi pedagang di pasar tradisional.

Bangunan yang diperuntukkan bagi pasar tradisional berada di lantai I dan II. Tingkat di atas lantai II difungsikan untuk hotel atau perkantoran.

”Kalau pasar tradisional dibuat tiga lantai, umumnya pembeli sudah malas mendatangi lantai teratas,” tutur Djangga.

Djangga mengatakan, sedikitnya 47 pasar tradisional potensial dibangun ulang, antara lain Pasar Senen yang mempunyai 10.722 kios, Pasar Pramuka (5.938 kios), Pasar Rumput (4.259 kios), dan Pasar Tanah Abang (10.722 kios).

Prioritas

Pedagang di sejumlah pasar tradisional meminta pengelola pasar memprioritaskan mereka di kios pasar yang baru nantinya. Selain itu, mereka berharap harga sewa atau harga jual kios bisa terjangkau.

Erin, pemilik lima kios makanan di Pasar Bendungan Hilir, telah mengetahui rencana pembangunan pasar meski belum ada surat pemberitahuan resmi. Dia berharap pengelola pasar memprioritaskan kios bagi pedagang lama dengan harga terjangkau dan tidak mempersulit pedagang lama untuk mendapatkan kios. ”Harga kios juga jangan terlalu mahal. Harga jual harus terjangkau,” katanya.

Rencana pembangunan ulang pasar ini dianggapnya baik bagi perkembangan usaha karena bisa mendatangkan banyak orang untuk berbelanja.

Syumadi, pedagang di Pasar Bendungan Hilir, mengatakan setuju dengan pembangunan pasar karena bangunan telah berusia lebih dari 30 tahun dan membutuhkan perbaikan.

Syarief, pedagang pakaian di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, mengatakan belum menerima kabar tentang rencana pembangunan itu. Namun, jika rencana itu dilakukan untuk meningkatkan perekonomian pedagang, dirinya siap mendukung. Pembangunan itu diharapkan bisa mengembalikan kejayaan Pasar Rumput.

Pasar Rumput bisa ramai kembali seperti tahun 1980-2000 karena ada pula bioskop dan arena permainan anak. ”Awal tahun 2000, Pasar Rumput sepi karena pusat hiburan keluarga di lantai tiga terbakar,” kata dia.

Mardi, pedagang di Pasar Rumput, berharap pemerintah menjamin pedagang lama mendapatkan tempat yang sama dengan yang mereka tempati sebelumnya. Tanpa prioritas, Mardi khawatir akan timbul konflik.

”Rencana ini pasti mendapat dukungan pedagang karena kemungkinan kami mendapat hasil yang lebih baik. Namun, prosedur pembangunan dan penataannya harus menjadi perhatian utama pemerintah,” kata dia.

Djangga memastikan pedagang lama akan mendapatkan prioritas tempat di pasar baru. Harga bagi pedagang juga dirancang terjangkau.

”Kami juga akan menyiapkan tambahan tempat antara 10-20 persen dari kios yang ada. Tambahan ini merupakan cadangan bila ada pedagang baru yang akan masuk. Namun, prioritas kios tetap untuk pedagang lama,” papar Djangga. (CHE/ART)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04401666/sudah.10..investor.tertarik.masuk

Promosi Wisata - Terkendala Tonjolkan Keunikan Tiap Desa Tujuan

Jumat, 23 Oktober 2009

Bantul, Kompas - Promosi desa-desa wisata yang ada di wilayah Kabupaten Bantul dinilai masih minim karena sejumlah kendala. Karenanya, kunjungan wisatawan tidak optimal dan membuat pondok-pondok wisata yang sudah dibangun jarang ditinggali wisatawan.

Kepala Bidang Pemasaran dan Kemitraan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul Diah Setiawati mengakui, selama ini promosi desa wisata di Bantul sangat lemah. Pengelola desa wisata cenderung diam dan menunggu tamu datang.

"Kami pun punya tanggung jawab untuk memasarkan desa wisata yang ada. Namun, kemampuan pemerintah tidak bisa maksimal karena keterbatasan dana. Karena dana terbatas, sejauh ini kami fokus mengembangkan Desa Wisata Kebon Agung," kata Diah dalam diskusi "Pengembangan Jasa Usaha Pondok Wisata Kawasan Gabusan-Manding-Tembi", Kamis (22/10), di Tembi, Bantul.

Menurut Diah, saat ini ada lima desa wisata di Bantul, yakni Kebon Agung, Krebet, Kasongan, Tembi, dan Lopati. Di setiap desa wisata terdapat pondok-pondok wisata milik warga. Selain itu, setiap desa wisata juga memiliki atraksi unik yang bisa dipasarkan untuk menarik wisatawan. Tak ada data

Meskipun potensinya besar, sampai saat ini belum semua pengelola desa wisata memiliki data akomodasi dan atraksi. Keterbatasan data ini membuat upaya pemasaran menjadi sulit. "Padahal, data diperlukan untuk membuat paket-paket wisata sehingga nanti akan lebih mudah dipromosikan," tutur Diah.

Untuk menggiatkan promosi, ke depan akan dijalin kerja sama dengan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia. Kedua asosiasi tersebut diharapkan membantu membina pengelola desa wisata dan membuka jaringan pemasaran.

Ketua Badan Promosi Pariwisata Kota Yogyakarta Ferry Astono mengatakan, pengembangan desa wisata mestinya disesuaikan dengan segmen pasar yang hendak dibidik. Desa wisata di wilayah Bantul sebaiknya memiliki keunikan yang tidak dimiliki desa lain. Dengan begitu, wisatawan akan mau datang untuk melihat keunikan itu. "Kalau sama saja dengan yang di kota, buat apa pergi jauh-jauh ke Bantul," ujar Ferry.

Menurut dia, segmen pasar yang jelas juga akan mempermudah upaya pemasaran ke wisatawan. Ada desa wisata yang lebih tepat dipasarkan ke sekolah-sekolah dan ada juga desa wisata yang lebih tepat ditawarkan ke rombongan keluarga.

"Asal sudah ada brosurnya, kami siap membantu memasarkan," ujar Ferry. (ARA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/13232219/promosi.wisata.terkendala..

Kawasan Terpadu - Hunian Vertikal yang Aman dan Nyaman

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images


Gedung perkantoran dan apartemen di Jakarta.

Kamis, 18 September 2008 | 13:48 WIB

APA impian terbesar dari warga kota metropolitan? Memiliki tempat tinggal (papan) yang dekat dengan lokasi kerja (kantor, sekolah, pusat perbelanjaan) di pusat kota.

Kemacetan lalu lintas, meningkatnya polusi, dan genangan banjir merupakan momok laten bagi warga kota. Kehilangan waktu produktif kerja dan kebersamaan keluarga, tenaga terbuang percuma di jalanan macet, dan membengkaknya biaya bahan bakar minyak atau biaya transportasi umum yang semakin mahal membuat kita harus berpikir ulang memilih tempat tinggal.

Kembali ke dalam kota merupakan jawaban yang paling realistis dan logis melihat ketidakmampuan pemerintah membenahi kota dan kota satelit yang semakin semrawut. Pemerintah harus menetapkan batas maksimal kapasitas daya sumber daya dukung kota. Pembangunan hunian vertikal berupa apartemen dan rumah susun sederhana milik (rusunami) mendapat sambutan positif dari pemerintah, pengembang besar, dan masyarakat luas.

Ada tiga kata kunci di sini, yakni pengembangan kawasan terpadu, hunian vertikal, dan isu ramah lingkungan.

Di tengah keterbatasan lahan kota, harga tanah yang mahal, dan degradasi kualitas lingkungan (banjir, rob, krisis air bersih, pencemaran udara), pengembangan kawasan terpadu hunian vertikal ramah lingkungan merupakan terobosan segar dalam pengembangan kota.

Selaras dengan UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, pengembangan kawasan terpadu di pusat-pusat kota akan memangkas besar waktu, biaya, dan tenaga yang terbuang percuma akibat kemacetan lalu lintas.

Konsentrasi penduduk di satu kawasan dengan kepadatan lebih tinggi, pertumbuhan dan perubahan kegiatan beragam dan terpadu, hemat lahan pengadaan sarana dan prasarana, kemudahan aksesibilitas dan transportasi publik sehingga mereduksi utilitas dan infrastruktur.

Penghuni tinggal berjalan kaki atau bersepeda ke berbagai tempat tujuan (kantor, sekolah, pasar, dan taman). Pembangunan kawasan terpadu hunian vertikal ramah lingkungan dapat mulai dilakukan di lokasi-lokasi langganan dan rawan banjir, rob, dan kebakaran di perkampungan padat penduduk yang kumuh sebagai bagian dari program perbaikan kampung atau peremajaan kota. Rencana pemerintah untuk merefungsi RTH (taman kota, jalur hijau bantaran kali, tepi rel kereta api, kolong jembatan layang, dan tepian situ) berdampak pada penggeseran (bukan penggusuran) warga merupakan kesempatan tepat untuk mengajak masyarakat beralih secara sukarela ke hunian vertikal yang layak huni, sehat, aman, dan nyaman.

Pemerintah harus mempersiapkan rekayasa sosial budaya karena pembangunan hunian vertikal membawa konsekuensi perubahan tata ruang kota, lingkungan hidup, dan gegar sosial budaya masyarakat dari hunian horizontal ke vertikal. Pola pikir perilaku kehidupan di hunian horizontal harus ditinggalkan, etika dan norma baru dalam kehidupan bertetangga dalam hunian vertikal, penggunaan sarana publik bersama-sama dan bertanggung jawab, seperti memakai lift dan mesin cuci bersama. Pakar psikologi sosial, perencana kota, dan perancang bangunan sepakat perubahan pola hidup masyarakat harus ditangani secara serius agar masalah sosial dan kegagalan bangunan dapat diantisipasi.

Pengembang diharapkan tidak terlalu berorientasi komersial (mencari keuntungan sebesar-besarnya) dalam membangun rusunami. Untuk itu, pengembang dapat melakukan subsidi silang dalam pengembangan kawasan terpadu dengan menerapkan komposisi 1:3:6 (modifikasi kebijakan pembangunan 1 rumah besar, 3 rumah sedang, 6 rumah sangat sederhana).

Pengembang dapat membangun satu hotel dan 3 apartemen (komersial), serta 6 rusunami (sosial) yang dilengkapi fasilitas pendidikan (taman kanak-kanak-perguruan tinggi), perkantoran, kesehatan (puskesmas, rumah sakit), perbelanjaan (pasar, hipermarket), ibadah (masjid, gereja), dan ruang hijau (taman, lapangan olahraga). Keadilan sosial dapat terwujud kala penghuni rusunami (masyarakat menengah bawah) dilibatkan sebagai sumber daya tenaga kerja di semua fasilitas yang tersedia disertai peningkatan pendidikan keterampilan penghuni.

Ramah lingkungan

Sesuai UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, pengembang dan penghuni harus terlibat mengolah sampah anorganik dan organik (reuse, reduce, recycle). Sampah anorganik dari pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, dan rusunami menjadi komoditas industri kerajinan tangan, dikelola komunitas rusunami dan dijual kembali di pusat perbelanjaan, cenderamata hotel dan apartemen.

Untuk mengurangi krisis pangan, ruang hijau, selain sebagai taman kota dan lapangan olahraga, dapat menjadi kebun sayuran, apotek hidup, dan buah-buahan yang menggunakan pupuk kompos hasil daur ulang sampah organik yang diproduksi penghuni kawasan terpadu. Sayuran dan buah-buahan untuk menyuplai kebutuhan pasar/hipermarket dan penghuni secara mandiri sehingga biaya transportasi distribusi dari luar kota dipangkas, hemat BBM, dan menurunkan pencemaran udara.

UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air mendorong warga hemat air (reduce), penggunaan kembali air untuk berbagai keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih (recycle), dan mengisi kembali air tanah (recharge) dengan sumur resapan air dan lubang biopori. Pengolahan limbah air rumah tangga (grey water) dan air hujan didaur ulang dan digunakan kembali untuk membilas kloset, menyiram taman, kebun, dan pepohonan.

Konsep ramah lingkungan telah merambah dunia sanitasi. Septic tank ramah lingkungan (biological filter septic tank) memiliki sistem penguraian secara bertahap, dilengkapi sistem disinfektan, hemat lahan, antibocor atau tidak rembes, tahan korosi, pemasangan mudah dan cepat, serta tidak membutuhkan perawatan khusus.

Kotoran diurai secara biologis dan filterisasi bertahap melalui tiga kompartemen. Media kontak dirancang khusus dan sistem disinfektan sarana pencuci hama penggunaannya sesuai kebutuhan. Buangan limbah kotoran tidak menyebabkan pencemaran pada air tanah dan lingkungan. Gas metan dipakai sebagai biogas, limbah padat menjadi pupuk organik.

Nirwono Joga Pengamat Properti Ramah Lingkungan
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/18/13480843/hunian.vertikal.yang.aman.dan.nyaman

Tak Ada Biaya Perawatan, Naskah Dijual

MANUSKRIP KUNO
Tak Ada Biaya Perawatan, Naskah Dijual

Jumat, 18 September 2009 | 04:48 WIB

Jakarta, Kompas - Karena tak ada biaya untuk perawatan, sejumlah pemilik naskah kuno cenderung menjualnya ke pedagang perantara yang masuk ke kampung. Mestinya pemerintah menyediakan dana yang memadai untuk perawatan dan penelitian naskah kuno.

”Jika anggaran pemerintah terbatas, mestinya pemerintah bisa mendorong yayasan atau perseorangan terlibat dalam penyelamatan naskah kuno,” kata filolog Suryadi, peneliti dan dosen di Leiden University, Belanda, Kamis (17/9).

Dia mencontohkan, di Inggris ada Yayasan Arcadia, yang menghimpun dana dari orang-orang kaya. Dana tersebut kemudian digunakan untuk penelitian, pelestarian, dan pemeliharaan kebudayaan tradisional, termasuk naskah kuno (manuskrip).

Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Abdul Kadir Ibrahim mengungkapkan, pihak Malaysia dan Singapura sampai sekarang terus mengincar dan menawar naskah-naskah kuno yang disimpan warga di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

”Pihak pembeli berani menawarkan harga Rp 5 juta sampai Rp 20 juta per naskah kuno. Bahkan, ada naskah yang kalau mau dijual, pembeli berani dengan harga berapa pun besarnya,” katanya.

Ia menjelaskan, naskah-naskah kuno di Kota Tanjung Pinang banyak diincar, banyak terdapat naskah kuno peninggalan Kerajaan Melayu (Riau Lingga) pada tahun 1722 sampai 1911.

Sekitar 200 tahun lalu Pulau Penyegat menjadi Pusat Kerajaan Melayu, pusat perdagangan dan pusat kebudayaan Melayu. Naskah-naskah kuno berupa catatan sejarah dan budaya banyak tersimpan di kawasan tersebut.

Naskah-naskah yang banyak diincar antara lain karya-karya Raja Ali Haji, Aisyah Sulaiman Riau, Haji Ibrahim, dan Rusydiah Club. Bahkan, untuk karya berjudul Syair Kadamuddin karya Aisyah Sulaiman Riau, berapa pun harganya, pihak pembeli berani bayar.

Pemerintah Kota Tanjung Pinang, kata Abdul Kadir Ibrahim, memberikan perhatian tinggi kepada masyarakat yang masih menyimpan naskah-naskah kuno. Bahkan, ada seorang warga mempunyai koleksi sampai 50 naskah kuno. Salah satunya Kitab Pengetahuan Bahasa, karangan Raja Ali Haji, yang ditulis abad ke-19.

”Sebagian karya yang merupakan warisan budaya Melayu yang tak ternilai harganya itu disimpan di Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang diresmikan Januari 2009 lalu,” kata Abdul Kadir Ibrahim.

Karena keterbatasan dana perawatan dan dana pengganti bagi masyarakat yang mau menyerahkannya ke museum, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang itu berharap perhatian dari pemerintah pusat. Hal itu karena, dengan keterbatasan dana, selain naskah kuno yang ada terancam hancur atau rusak, juga dikhawatirkan bisa berpindah tangan.

Kenyataan yang sama sebelumnya juga diungkapkan Mukhlis PaEni, ahli dan peneliti naskah kuno, dalam seminar ”Strategi Kebudayaan dan Pengelolaannya”, di Jakarta. ”Manuskrip Nusantara mengalir setiap hari ke tangan pembeli naskah/manuskrip yang berani membayar paling rendah Rp 5 juta untuk jenis naskah yang apa adanya dan compang-camping hingga Rp 50 juta untuk naskah-naskah utuh bahkan lebih,” katanya.

Naskah-naskah Nusantara dari berbagai daerah kebanyakan dibawa ke Malaysia dan Singapura. (NAL)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/04483343/tak.ada.biaya.perawatan.naskah.dijual

Memilah Sampah sejak dari Rumah

Forum
Memilah Sampah sejak dari Rumah

Jumat, 18 September 2009

Oleh TUTIK RACHMAWATI

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengelolaan sampah mewajibkan masyarakat dan pihak swasta memilah sampah, sedangkan pemerintah wajib mengelola sampah. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memulai upaya mewajibkan masyarakat untuk memilah sampah domestik lengkap dengan sanksi dan kompensasinya.

Walaupun baru pada tahap penyusunan peraturan daerah (perda) yang rencananya akan diberlakukan tahun 2010, hal tersebut merupakan terobosan. Walaupun peraturan ini akan dilaksanakan di Jakarta, akan ada implikasi bagi Kota Bandung.

Pengalaman tinggal di negeri Belanda dan Jepang memberikan gambaran betapa masyarakat di kedua negara tersebut sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan mereka. Kepedulian mereka wujudkan dengan dua cara yang sangat sederhana, yaitu membuang sampah pada tempat sampah sesuai dengan jenis sampah dan memilah sampah berdasarkan jenis sampah sejak di tingkat rumah tangga.

Hal tersebut dilakukan tidak hanya oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Membuang sampah pada tempatnya sesuai dengan jenis sampah dan memilah sampah telah menjadi kebiasaan hidup dan budaya mereka. Namun, penulis memiliki keyakinan bahwa budaya bisa dibentuk atau diciptakan.

Salah satu cara untuk membentuk dan menciptakan budaya adalah dengan mengatur tindakan atau kegiatan agar dilakukan masyarakat melalui peraturan yang di dalamnya memuat detail sanksi dan kompensasi yang akan diberikan untuk setiap tindakan melanggar dan patuh.

Perlu dibentuk

Untuk masyarakat Indonesia, budaya memilah sampah perlu dibentuk. Beberapa hasil penelitian mengenai pengelolaan sampah di Bandung membuktikan bahwa pengelolaan sampah tidak berjalan dengan sukses karena masyarakat tidak memiliki budaya memilah sampah sejak dari rumah.

Atau, apabila ada keluarga yang telah memiliki kesadaran untuk memilah sampah rumah tangga mereka, hal itu tidak dibarengi dengan kesadaran keluarga lain di kota ini. Yang lebih parah, apabila terjadi pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, sampah tersebut kembali dijadikan satu oleh petugas pengambil sampah lingkungan rumah tangga.

Dengan demikian, memilah sampah bukan kegiatan yang didukung sistem pengelolaan sampah yang konsisten. Adanya perda tentang pemilahan sampah akan menjamin konsistensi pengelolaan sampah yang dimulai dari pemilahan sampah. Dengan begitu, penulis sangat mendukung pembuatan perda tersebut dan berpendapat bahwa pembuatan perda tersebut memiliki relevansi untuk Kota Bandung.

Lalu, apa relevansi rencana penyusunan perda itu dengan kondisi Bandung? Pertama, fenomena Bandung sebagai "halaman belakang" Jakarta, tempat orang-orang Jakarta menghabiskan akhir pekan dengan berbagai aktivitas, tentu saja akan membuat Bandung juga menampung sampah hasil aktivitas tersebut.

Akan sangat tidak adil bila orang-orang Jakarta tidak diperbolehkan membuang sampah dan diharuskan memilah sampah di Jakarta. Namun, begitu sampai di Bandung, mereka bebas merdeka membuang sampah sembarang dan tidak memilah sampah. Lalu, apa solusinya? Buat perda yang sama-sama mengatur tentang membuang sampah dan memilah sampah bagi siapa saja yang berada di Kota Bandung.

Peraturan daerah

Kedua, penyusunan perda serupa akan menjadi salah satu alternatif bagi Kota Bandung yang beberapa waktu lalu menghadapi permasalahan pengelolaan sampah. Penyusunan perda serupa tentu saja membutuhkan komitmen dari pemerintah. Sebab, dengan penyusunan perda tersebut, konsekuensinya tidak hanya berupa penerapan sanksi dan kompensasi. Akan tetapi, hal itu juga melibatkan penyediaan sarana fisik (tempat sampah untuk pemilahan sampah), waktu dan dana untuk sosialisasi perda, serta penyadaran masyarakat dan pelatihan untuk aparat pelaksana.

Ambil contoh Belanda. Di sana terdapat jadwal yang teratur serta diketahui setiap masyarakat dan rumah tangga di Belanda untuk membuang sampah yang bisa didaur ulang (kertas, plastik, dan bahkan peralatan rumah tangga, seperti barang elektronik). Jadwalnya adalah setiap hari Senin. Jadi, Minggu malam biasanya tiap rumah tangga sudah menyiapkan sampah jenis tersebut di depan rumah masing-masing.

Di Jepang, misalnya, setiap kantor, sekolah, dan gedung selalu menyiapkan tempat sampah untuk sampah yang dapat dibakar (burnable) dan tidak dapat dibakar (non-burnable). Setiap anggota masyarakat di Jepang secara swadaya membuang sampah rumah tangga, terutama sampah yang dapat didaur ulang, ke tempat pengolahan sampah terdekat. Di kedua negara itu ketidakpatuhan dalam hal membuang sampah berdasarkan jenisnya dan memilah sampah tentu saja diikuti dengan sanksi.

Ketiga, diperlukan kesadaran dari diri kita untuk berpartisipasi aktif dalam pemilahan sampah apabila perda tersebut benar-benar diimplementasikan sebagai produk hukum. Setiap rumah tangga perlu memilah sampah dengan diikuti sistem pemilahan dan pengolahan sampah yang konsisten.

Keempat, sebagai pelengkap pelaksanaan perda tentang pemilahan sampah, pemerintah perlu membantu masyarakat dengan menyediakan alat bor biopori secara gratis sehingga setiap rumah tangga dapat memanfaatkan lubang biopori tersebut sebagai tempat penampungan sampah organik.

Diharapkan dengan kegiatan seperti itu beban pemerintah untuk mengelola sampah akan berkurang karena masyarakat secara swadaya ikut serta dalam pengelolaan sampah organik.

TUTIK RACHMAWATI Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/16592512/memilah.sampah.sejak.dari.rumah

Mampirlah ke Jalur Cijapati di Lintas Selatan

Arus Mudik
Mampirlah ke Jalur Cijapati di Lintas Selatan

Jumat, 18 September 2009


Hari Kamis (17/9), langit mendung bertengger di jalur Cijapati, perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Kondisi jalan yang lengang rupanya merangsang para pengguna jalan yang didominasi sepeda motor untuk memacu kendaraan. Namun, mata akan sulit berkonsentrasi di jalan karena di tepi kiri dan kanan jalan penuh dengan pemandangan elok perbukitan serta hutan bambu.

Jalur sepanjang 18 kilometer yang menghubungkan Kabupaten Bandung dengan Garut ini sudah dikenal pula sebagai jalur alternatif yang kerap digunakan para pemudik untuk mencapai Garut. Bila jalur utama, yaitu jalur Nagreg, tengah disesaki pengguna jalan, pastilah jalur Cijapati menjadi penyelamat.

Untuk mencapai jalur ini bisa dari arah Rancaekek ataupun Cicalengka. Dari Rancaekek, selepas Pasar Dangdeur, pemudik bisa berbelok mengambil arah ke kiri melewati jalan lingkar Majalaya untuk menghindari kemacetan pusat kota Majalaya, kemudian menuju persimpangan Cijapati di Kecamatan Cikancung. Adapun dari pusat kota Cicalengka, pemudik akan melewati jalan kabupaten yang masih setengah badan jalan dibeton hingga mencapai persimpangan Cijapati.

Begitu memasuki jalur Cijapati, pemandangan berbukit segera menyapa. Jalur didominasi lintasan berkelok di samping tebing. Sementara di bawahnya terdapat rimbunnya pohon bambu yang meneduhkan mata.

Aspal jalan relatif dalam keadaan mulus. Meskipun demikian, kendaraan yang melintasi jalur ini sebaiknya berupa kendaraan kecil dengan kondisi mesin prima karena tanjakannya. Selain itu, badan jalan juga hanya cukup untuk dua mobil kecil berpapasan.

Sekeluar dari jalur Cijapati, sampailah di daerah Kadungora, Garut. Artinya, dengan melintasi jalur ini, para pemudik bisa menghindari dua titik kemacetan di jalur Nagreg, seperti perlintasan kereta api Pamuncatan dan Jalancagak. Meskipun mengambil jalan yang lebih jauh, banyak waktu bisa dihemat bila melintasi jalur ini. Hanya cadangan

Kurnia, petugas pencatat di pos pengawasan dan pengendalian Dinas Perhubungan Kabupaten Bandung, menuturkan, selama ini jalur Cijapati hanya digunakan sebagai cadangan serta digunakan oleh pemudik yang biasa bepergian bolak-balik Kabupaten Bandung-Garut.

Menurut Kepala Kepolisian Resor Bandung Ajun Komisaris Besar Imran Yunus, pengalihan ke jalur Cijapati dilakukan bila ekor antrean kendaraan di jalur Nagreg mencapai daerah Parakanmuncang. "Alternatif lain, kendaraan akan dialihkan ke jalur Wado-Tasikmalaya bila jalur Cijapati juga penuh," ungkap Imran.

Jalur Nagreg sendiri sudah berbenah tahun ini, salah satunya dengan pelebaran jalan pada titik perlintasan kereta api dari 7 meter menjadi 14 meter. Dengan demikian, beban lalu lintas bisa dikurangi sehingga kemacetan bisa diurai.

Ditambah dengan pelebaran jalan di sepanjang jalur tanjakan, meski hanya 1 meter, upaya tersebut diperkirakan berdampak positif dalam mengurai kemacetan.

Pada Lebaran 2009 pemudik akan lebih nyaman saat melintasi jalur Nagreg. Akan tetapi, bagi pemudik yang ingin bersantai dan menikmati keindahan alam khas Jawa Barat, tidak ada salahnya mampir ke jalur Cijapati. (Didit Putra Erlangga Rahardjo)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/10585156/mampirlah.ke.jalur.cijapati.di.lintas.selatan

Jelang Libur Lebaran di Water Blaster

Graha Candi Golf
Jelang Libur Lebaran di Water Blaster

Jumat, 18 September 2009

Kawasan permukiman asri nan ekslusif di sisi Semarang atas, Graha Candi Golf, adalah gambaran hunian masa depan yang merangkum kenyamanan jiwa bagi setiap penghuninya. Bersandar di serambinya, raga dan pikiran ditenangkan dengan hijau panorama dan teduh suasana perbukitan yang sulit digantikan keindahannya. Memilih tinggal di sini berarti memberikan kesempatan bagi diri untuk leluasa berileksasi dari rumah sendiri.

Bahkan selain rentetan fasilitas nomor satu yang melengkapi kesempurnaan perumahan ini, seperti lapangan golf 9 holes, driving range, club house, kafe Albatros, dan kolam renang kini Graha Candi Golf makin dikenal berkat kehadiran sebuah komplek wisata air yang diberi nama Water Blaster, dengan telepon 024-8500030. Dibuka sejak pertengahan tahun silam, Water Blaster mampu menjadi magnet bagi warga Semarang dan sekitarnya untuk sejenak meluangkan waktu berpelesir dan bersantai bersama putra putri tercinta. Salah satu alternatif wisata baru di kota atlas ini tak pernah sepi dipadati pengunjung, khususnya saat akhir pekan. Bagi penghuninya sendiri, Water Blaster menjadi potensi yang merupakan nilai tambah investasi properti di Graha Candi Golf.

Dibalut konsep warna warni ceria sebagai bentuk interpretasi keriaan nuansa wisata air dan indahnya dunia anak, Water Blaster adalah tempat yang tepat untuk dikunjungi saat liburan, termasuk libur Lebaran kali ini. Berkunjung ke Water Blaster berarti menikmati berbagai wahana air yang unik dan menantang untuk dijajal, seperti lazy river (sungai buatan) dengan arus yang dapat diarungi dengan ban karet, ember tumpah, seluncur air "speed torpedos", seluncur berkelok "dino blast", dan lainnya.

"Untuk menambah suasana liburan yang lebih seru, acara bermain air juga tambah mengasikkan dengan adanya permainan baru ninja warrior," kata Mei A Banawi STp, Manager Water Blaster di Semarang. Selain ragam kolam renang dan permainan air yang menarik, saat ini sejumlah permainan adu nyali seperti flying fox yang melintasi kolam renang aneka ukuran turut meramaikan area wisata air seluas lebih kurang 4 hektar tersebut.

Buat para orang tua yang setia menanti buah hati tercinta bermain air, tempat rehat yang nyaman berupa kafe dengan aneka menu makanan dan minuman menyegarkan siap menemani. Didesain cantik, kafe dengan fasilitas hotspot ini menjadi pelabuhan yang tepat untuk rileks.

Selama libur Lebaran, hingga tanggal 27 September 2009, Water Blaster siap menyambut kunjungan Anda mulai pukul 08.00 sampai dengan 18.00, kecuali pada hari H Idul Fitri yang mulai buka pukul 11.00. Dengan tiket masuk Rp 60 ribu, ajak seluruh anggota keluarga menikmati liburan dan habiskan hari dengan bermain dan bergembira di Water Blaster. Dimanjakan kenyamanan The Panorama

Menjadi impian banyak kalangan untuk menjadi salah satu bagian dari hunian dengan view menakjubkan ini, Graha Candi Golf yang telah sukses mengembangkan cluster yang lain, maka kini melanjutkan pembangunan di The Panorama cluster.

Seperti diungkapkan oleh Juraemi, Bagian Promosi Graha Candi Golf, bahwa The Panorama masih menghadirkan konsep modern minimalis bagi keluarga muda yang dinamis dan diciptakan di atas lahan yang berkontur perbukitan. Sebagai benefitnya, para penghuni akan puas memandang hamparan hijau bukit dengan gunung Ungaran sebagai background dinaungi udara sejuk yang menyegarkan. Sebuah hal berharga yang makin sulit ditemui di era modern saat ini.

Sesuai namanya, setiap penjuru rumah tinggal diupayakan menemukan sisi keindahan Kota Semarang. Bersinergi dengan alam, menjadi penghuni The Panorama dapat membuka kesempatan yang lebih luas untuk mengagumi ciptaan Tuhan lewat panorama laut, Kota Semarang bawah, sekaligus perbukitan. Memanjakan panca indera adalah salah satu bentuk rasa syukur kita kepada Sang Pencipta. Jadilah bagian dari The Panorama untuk mewujudkannya. Bagi Anda yang berminat tahu lebih dalam soal Graha Panorama dan cluster-cluster lain di Graha Candi Golf, dapat menghubungi bagian pemasaran di nomor telepon (024) 8501000. CRL

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/10583316/jelang.libur.lebaran.di.water.blaster.

Nasi Goreng Bakar Mr Puencheng Semarang

Sajian Tlogosari
Nasi Goreng Bakar Mr Puencheng Semarang

Jumat, 18 September 2009

Menyantap nasi goreng, yang terbayang adalah minyak mengkilat yang melumuri nasi. Namun, berbeda dengan nasi goreng bakar yang dibakar dengan oksigen bertekanan tinggi. Hidangan tersebut sirna karena tidak ada minyak mengkilat di nasi goreng yang tersaji. Kekhawatiran akan lemak tinggi pun lenyap.

Penampilan Nasi Goreng Bakar Bertekanan Mr Puencheng yang berlokasi di Jalan Parangkusumo Raya Nomor 40, Tlogosari, Kota Semarang, itu sekilas sama seperti nasi goreng pada umumnya.

Bedanya, tidak ada minyak yang melekat di butiran nasi. Jadi, ketika menelan, sensasi yang muncul adalah rasa kering pada nasi.

Proses pembuatannya, pertama nasi digoreng dengan minyak rendah kolesterol. Itu pun dalam takaran sangat sedikit. Nasi kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu, irisan daun bawang, dan kecap manis.

Setelah itu, nasi goreng dibakar dengan alat bernama blender api. Dengan bahan bakar, api dan oksigen bertekanan tinggi, permukaan nasi goreng dibakar selama 30 detik untuk empat porsi nasi goreng.

Waktu pembakaran, menurut pemilik gerai Nasi Goreng Bakar Mr Puencheng, M Gunawan Wibisono, tidak boleh terlalu singkat dan terlalu lama. Jika terlalu lama, nasi goreng akan gosong dan terasa pahit.

Rasa nasi goreng bakar ini pun lebih gurih. Bumbunya terdiri dari bawang merah, bawang putih, merica, dan sari tape.

"Khas masakan China," ungkap M Gunawan Wibisono.

Nasi goreng terasa lengkap dengan sajian acar ketimun dan acar irisan cabai rawit merah. Keduanya memberi sensasi segar. Bagi yang menyukai rasa pedas, acar irisan cabai rawit merah sangat membangkitkan selera makan.

Pengunjung dapat memilih aneka varian nasi goreng. Di tempat itu tersedia juga nasi goreng ayam, nasi goreng telur, dan nasi goreng kambing. Ada pula mi goreng dan kwetiau goreng yang diproses dengan cara serupa dengan nasi goreng bakar. Harga per porsi Rp 7.000-Rp 10.000.

"Awalnya, saya adalah penyuka nasi goreng, tetapi memiliki masalah dengan kolesterol tinggi. Lalu saya berpikir, bagaimana membuat nasi goreng yang non kolesterol. Akhirnya, saya menemukan cara itu," ujar Gunawan.

Gunawan sempat mencoba membakar nasi goreng dengan arang, tetapi hasilnya gosong. Dia lalu mencoba berbagai upaya hingga menemukan cara pembakaran dengan oksigen bertekanan tinggi pada tahun 2007. Untuk menikmati nasi goreng, kedai ini menyediakan aneka jus buah nan segar.

Kini, gerai Mr Puencheng ada di berbagai kota. Namun, karena usahanya belum berusia lima tahun, Gunawan baru membuka bussiness opportunity (semacam waralaba) kepada setiap orang yang berminat membuka gerai serupa di kotanya. Jika usahanya sudah berusia lebih dari lima tahun, baru boleh memberikan lisensi waralaba. (Amanda Putri Nugrahanti)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/15185491/nasi.goreng.bakar.mr.puencheng.semarang.

9 Kota Terpilih Ekspose pada Hari Habitat

Kamis, 17 September 2009

Jakarta, Kompas - Sembilan kota terpilih untuk ekspose pada Hari Habitat Dunia 2009 yang bertempat di Palembang, 3-5 Oktober 2009, terkait komitmen untuk membebaskan wilayah masing-masing dari kawasan kumuh tahun 2020. Komitmen yang diwujudkan antara lain merelokasi warga dan meningkatkan kualitas lingkungan tempat tinggal di kawasan kumuh.

”Kreativitas dalam menanggulangi kawasan kumuh antara satu kota dan kota lainnya itu berbeda. Ini yang menarik untuk dikomunikasikan pada Hari Habitat nanti,” kata Direktur Jenderal Cipta Karya pada Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono, Rabu (16/9) di Jakarta.

Menurut Budi, forum kota merupakan bagian penting untuk menumbuhkan kreativitas penanggulangan kawasan kumuh. Daya kreativitas yang lebih manusiawi itu untuk membenahi model penggusuran tanpa solusi yang selama ini kerap terjadi di kota-kota besar, juga di Jakarta.

Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Antonius Budiono memaparkan, sembilan kota yang terpilih itu adalah Palembang, Bontang, Balikpapan, Tarakan, Surabaya, Blitar, Surakarta, Yogyakarta, dan Pekalongan. Beberapa hal yang akan diekspose antara lain metode penanggulangan kawasan kumuh yang berbeda satu sama lain.

Peringatan Hari Habitat Dunia di Indonesia dimulai tahun 1986. Tahun 2008 peringatan Hari Habitat Dunia diadakan di Denpasar dan tahun 2007 di Surakarta.

Penetapan PBB

Hari Habitat Dunia ditetapkan melalui Sidang Umum PBB tahun 1985. Hari yang ditetapkan sebagai Hari Habitat Dunia adalah setiap hari Senin pada minggu pertama bulan Oktober. Peringatan Hari Habitat untuk mengingatkan dunia akan tanggung jawab memenuhi hak atas hunian yang layak.

Selama ini tema peringatan Hari Habitat Dunia ditetapkan PBB, umumnya terkait perkotaan, karena perkotaan menjadi target habitat utama penduduk di dunia. Tahun 2009, peringatan itu bertema ”Merencanakan Masa Depan Perkotaan Kita”.

Menurut Budi, institusinya sejak tahun 2003 hingga sekarang mewujudkan komitmen menanggulangi masalah perkotaan dengan mendirikan perumahan susun sederhana sewa hingga 19.244 unit. Perumahan sewa ini ditujukan bagi warga permukiman kumuh yang memiliki penghasilan di bawah Rp 2,5 juta per bulan. Akhir-akhir ini pembangunannya tersendat. (NAW)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/04475315/9.kota.terpilih.ekspose.pada.hari.habitat