Cinta dan Air Mata di Jantung Kalimantan

Kamis, 17 September 2009
Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso


...hutan yang luas

sungai yang deras

menyenangkan

udara segar

senyuman manis

ingin ku bisa lebih lama di Long Alango...


Itulah penggalan lirik lagu ”Long Alango” ciptaan spontan Agustinus Gusti Nugroho atau Nugie saat penyambutan di Balai Adat Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, pertengahan Mei lalu.

Adik penyanyi Katon Bagaskara ini memang banyak membuat lagu tentang alam dan dipercaya menjadi duta kehormatan WWF Indonesia. Saat menghibur 200 warga, Nugie mengaku jatuh cinta dengan kehidupan di Bahau Hulu yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur.

”Hutan tropisnya seperti karpet hijau yang tebal dan tiada habisnya dilihat dari pesawat,” kata Nugie. Ia berkali-kali memuji lezatnya makanan, pedasnya sambal, kerasnya arak, tampan dan jelitanya serta keramahan warga.

Bahau Hulu berada di hulu Sungai Bahau. Di antara kecamatan berpenduduk 1.500 jiwa ini dan Sarawak dibatasi Pegunungan Belayan-Kaba, tempat mata air sungai-sungai utama Kaltim bagian utara seperti Kayan, Sesayap, dan Sembakung.

Bahau Hulu terdiri dari enam desa, yakni Long Uli, Long Tebulo, Long Alango, Long Kemuat, Long Berini, dan Apau Ping. Warganya keturunan orang (Dayak) Kenyah yang bermukim di tepi Sungai Bahau sejak 350 tahun lalu. Dalam bahasa setempat, long ialah sungai dan apau ialah perbukitan.

Bahau Hulu bagian dari Taman Nasional (TN) Kayan Mentarang yang ditunjuk Menteri Kehutanan pada 1996 seluas 1.360.500 hektar. Hutannya mengandung separuh dari 15.000 jenis tumbuhan Kalimantan, di mana 6.000 jenis di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik).

Di sana hidup 150 jenis mamalia (18 jenis endemik) atau lebih separuh dari 228 mamalia Kalimantan. Selain itu, kalangan peneliti mengidentifikasi 310 jenis burung (28 endemik tetapi terancam punah) atau hampir mendekati 361 jenis burung Kalimantan.

Semua kekayaan alam itu bisa membuat siapa pun jatuh cinta. Tidak mengherankan ketika banyak kalangan berharap keberagaman hayatinya harus dilestarikan.


KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Rumah peladang di Taman Nasional Kayan Mentarang di tepi Sungai Bahau, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, pertengahan Mei. Sekitar 21.000 warga memanfaatkan hasil hutan dan berladang di taman nasional yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur, itu.


Penerbangan terbatas

Meskipun penuh pesona, kehidupan di sana sulit dijangkau.

Long Alango saja di Bahau Hulu yang punya lapangan terbang, tetapi minim fasilitas. Landas pacu 500 meter berupa tanah berumput. Ada dua rumah panggung dari kayu di tepi landasan. Satu untuk ruang tunggu penumpang, satu lagi untuk petugas dengan radio panggil dan stok bahan bakar pesawat (avgas).

Lapangan bisa dicapai dengan berjalan kaki sekitar 40 menit dari desa. Cuma pesawat berkapasitas maksimal 290 kilogram atau berpenumpang empat orang yang bisa mendarat.

Hanya Mission Aviation Fellowship (MAF) yang rutin terbang ke Long Alango. Pesawat jenis Cessna yang mirip capung milik maskapai misionaris Kristen itu mengutamakan mengangkut orang sakit dan obat-obatan.

Penerbangan seminggu sekali selama 50 menit dari Bandar Udara Juwata, Kota Tarakan. Namun, ketika cuaca buruk, penerbangan batal. Nekat terbang berarti bunuh diri.

Staf WWF Indonesia, Malinau Arman Anang, mengatakan, tarif sewa pesawat sekali terbang Rp 6 juta sampai Rp 7 juta. Untuk itu, tiga penumpang harus merogoh kocek masing-masing minimal Rp 2 juta.

Mencapai kawasan lewat sungai amat menyiksa. Dari Samarinda, ibu kota Kaltim, perlu tiga hari mencapai Long Alango dengan biaya Rp 2 juta sampai Rp 4 juta.

Pertama, menuju ke Balikpapan sejauh 115 kilometer lewat darat selama dua sampai tiga jam. Kedua, dari Balikpapan ke Tarakan dengan pesawat Boeing atau Airbus.

Karena pesawat MAF penuh, perjalanan dilanjutkan lewat Malinau dengan perahu cepat selama tiga jam. Itu pun harus menginap karena tiba kemalaman.

Perjalanan dilanjutkan esok dengan mobil gardan ganda ke Desa Long Lejuh, Kabupaten Bulungan. Perjalanan empat jam itu bikin muntah dan pegal-pegal karena jalan rusak.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan perahu motor ke Kecamatan Pujungan selama delapan jam menyusuri Sungai Kayan dan Sungai Bahau. Itu pun harus dengan menginap di bantaran sungai penuh bebatuan karena kemalaman. Penumpang pun bolak-balik turun dan berjalan meniti tepi sungai karena perahu harus cukup ringan agar bisa melewati jeram-jeram.

Perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil atau ketinting dari Pujungan ke Long Alango selama lima jam dalam terpaan hujan deras dan guncangan jeram-jeram yang membahayakan jiwa. Ketinting bermesin maksimal 16 daya kuda cuma bisa memuat tiga orang yang satu di antaranya juru mesin sekaligus juru batu.

Pengharapan

Hidup di pedalaman mungkin tidak nyaman sebab selalu berhadapan dengan bahaya dan segala keterbatasan. Harga kebutuhan pokok mahal, seperti bahan bakar minyak Rp 20.000 per liter dan gula Rp 15.000 per kilogram.

Tidaklah muluk harapan warga agar dibangun sarana kesehatan, pendidikan, dan telekomunikasi memadai di setiap desa. ”Lebih baik di Long Alango bisa didarati pesawat lebih besar, bah,” kata Camat Bahau Hulu Unya Bawan. Sudah disiapkan lahan guna pembangunan landas pacu 1.200 meter sehingga bisa didarati pesawat berkapasitas 40 penumpang atau berton-ton barang.

Bila pembangunan jaringan jalan bukan pilihan demi kelestarian hutan, maka sebaiknya dibangun lapangan terbang di setiap desa. ”Kalau tidak ada pesawat, bagaimana bisa menjangkau rumah sakit terdekat dengan cepat, bah,” kata Ruben, warga Long Alango.

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03013214/cinta.dan.air.mata.di.jantung.kalimantan

No comments:

Post a Comment