Jejak Mataram yang Terlupakan

Kamis, 17 September 2009

Oleh M Burhanudin

Panas sinar matahari menerpa deretan Pasar Petanahan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Senin (7/9) siang, itu. Di antara deretan toko kelontong dan pasar swalayan mini terselip bangunan toko-toko tua, yang seolah bercerita tentang jejak masa lalu tempat ini.

Petanahan terletak di jalur alternatif lintas selatan- selatan Jawa Tengah. Melalui jalur ini, pemudik bisa menghindari kemacetan akibat pelintasan KA dan sempitnya jalan di jalur utama selatan.

Bus-bus jarak jauh jurusan Jakarta-Yogyakarta biasa menggunakan jalur ini untuk menghindari antrean panjang kendaraan di jalur Kebumen-Kutoarjo.

Dari Petanahan, jalur lintas selatan-selatan membentang lurus, melewati kawasan pantai selatan hingga ke Wates, DI Yogyakarta.

Jalan cukup untuk berpapasan dua bus besar, tetapi sebagian masih berlapis aspal kasar dan bergelombang. Begitu memasuki wilayah DI Yogyakarta, jalan sempit ini menjelma menjadi jalan empat lajur selebar 24 meter beraspal mulus.

Sekilas, tak ada yang istimewa dari pusat ”kota” Petanahan. Namun, tempat ini menyimpan kisah sejarah yang telah terlupakan. ”Pasar Petanahan ini sudah sangat lama, sejak zaman Belanda,” ujar Ahmad Zaenuri (30), pedagang pisau di pasar tersebut.

Warga Petanahan hampir semuanya tahu bahwa deretan bangunan tua yang bagian depannya difungsikan sebagai toko dan belakang sebagai rumah itu milik orang-orang keturunan bangsawan asal Yogyakarta. ”Warga sini banyak yang leluhurnya dulu orang Yogyakarta. Kalau yang keturunan bangsawan, biasanya punya gelar nganten atau raden,” kata Zaenuri.

Sejarawan Banyumas, Budiono Herusatoto, dalam bukunya Banyumas (2008) mengatakan, para bangsawan asal Yogyakarta itu datang sejak zaman Sultan Agung (1613-1645) dari Mataram Islam hingga masa Perang Diponegoro (1825-1830). Ada di antara mereka yang berstatus sebagai kerabat keraton, abdi dalem, prajurit, hingga orang biasa.

Petanahan sekarang memang berada di jalur alternatif. Namun, jalur ini dulunya justru jalur utama zaman Mataram Islam. Sultan Agung pun melalui jalur ini saat menyerang VOC di Batavia tahun 1629.

Pangeran Diponegoro juga menggunakan wilayah Kebumen selatan ini sebagai basis perjuangan gerilyanya, termasuk untuk perekrutan personel. Jejak sepak terjang Diponegoro, dalam bentuk jalan- jalan setapak, masih dapat dilihat apabila menyusuri jalur Petanahan ini ke timur hingga ke wilayah Ambal.


KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Suasana di Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Senin (7/9). Kecamatan tersebut terletak di jalur alternatif lintas selatan-selatan yang merupakan salah satu jalur penghubung kota-kota besar di selatan Pulau Jawa.


Wisata pantai

Jalur alternatif juga menawarkan wisata pantai selatan dengan pesona ombak yang menggelora. Sekitar dua kilometer ke arah selatan Pasar Petanahan terdapat kawasan wisata Pantai Petanahan.

Sejak tahun 1982, Pantai Petanahan telah dikembangkan sebagai obyek wisata, lengkap dengan berbagai sarana pendukung, seperti warung makan, tempat bermain anak, sampai kolam renang air tawar untuk bilas.

Pantainya sendiri masih asli, membentang lepas sepanjang sekitar lima kilometer. Pada masa bulan muda, ombaknya bisa mencapai tinggi delapan meter. Itu sebabnya, berenang di pantai akan sangat berbahaya.

Artikel dari:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03164725/jejak.mataram.yang.terlupakan

No comments:

Post a Comment