Pokoknya Pearl Jam, Titik!


KOMPAS/PRIYOMBODO
Anggota Komunitas Pearl Jam Indonesia berkumpul di studio Beebop di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (29/8).

Minggu, 27 September 2009
Budi Suwarna

Lagu milik Pearl Jam, ”Alive”, dimainkan. Seketika belasan anak muda melompat ke panggung, berjingkrak-jingkrak, dan berebut mikrofon untuk menyanyikan lagu tersebut. Malam itu, mereka merasa benar-benar menjadi Eddie Vedder, vokalis Pearl Jam.

Mereka adalah anggota Pearl Jam Indonesia (PJId), yakni komunitas penggemar grup rock Pearl Jam yang berasal dari Seattle, Amerika Serikat, dan populer pada era 1990-an. Grup itu sekarang terdiri dari Eddie Vedder pada vokal, Jeff Ament (bas), Stone Gossard (gitar rhythm), Mike McCready (gitar utama), dan Matt Cameron (drum).

Akhir Agustus lalu, PJId berkumpul di sebuah studio musik di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Sebenarnya, acara utama mereka menyaksikan latihan grup Perfect Ten+Nito yang akan tampil di acara Pearl Jam Night. Yang terjadi, belakangan para penonton itu justru mengambil alih panggung dan ”memaksa” vokalis band tersebut untuk berbagi mikrofon.

”Kalau sudah mendengar lagu Pearl Jam, kami lupa diri. Maunya ikut menyanyi,” kata Awang Dimjati (29), anggota PJId. Dia bahkan beberapa kali ”kabur” ketika sedang diwawancarai. ”Maaf, saya ke dalam dulu mau ikut nyanyi,” kata Awang ketika mendengar lagu ”Betterman” dimainkan.

Komunitas ini memang penggemar tulen Pearl Jam. Buat mereka, tidak ada grup rock sehebat Pearl Jam. Begitu fanatiknya mereka, beberapa anggota enggan mendengar musik lain selain Pearl Jam. Salah seorang di antaranya adalah Awang.

”Buat saya, musik yang asyik cuma Pearl Jam, enggak ada yang lain,” kata dia. Karyawan perusahaan swasta itu mengatakan, di mana pun dia berada, dia berusaha mendengarkan lagu-lagu Pearl Jam dari yang lawas sampai yang anyar.

Ashobru Dhia (28) sama fanatiknya. Di antara band-band hebat, lanjut Dhia, Pearl Jam yang paling hebat. ”Gue dulu juga dengerin Nirvana. Lama-lama bosan juga karena liriknya serba putus asa. Kalau Pearl Jam, gue gak pernah bosan,” kata dia.

Jika Anda berkumpul dengan komunitas ini, kira-kira Anda akan menemui orang-orang yang wajahnya tampak berbinar-binar jika membicarakan Pearl Jam, mulai dari lagu, sepak terjang, hingga sikap dan gaya hidup personel Pearl Jam.

Mereka juga mendiskusikan lirik lagu Pearl Jam, menonton bareng videoclip Pearl Jam, hingga saling pamer cendera mata dan barang apa pun—mulai kaus, foto, hingga potongan artikel—yang ada hubungannya dengan grup musik itu.

”Pernah ada yang bawa rekaman backsound (suara latar) acara sepak bola di televisi yang diambil dari lagu Pearl Jam. Kami ngumpul bareng hanya untuk mendengar backsound itu,” ujar Ega (35).

Awal September lalu, ketika komunitas ini berkumpul kembali di Tebet, sebagian membawa kaus, tas, topi, kaset, CD, VCD, DVD, majalah, koran yang ada tulisan atau foto Pearl Jam-nya. Mereka memamerkan properti yang sebagian dibeli di luar negeri. Anggota PJId lainnya tinggal mengagumi.

Selai mutiara

Anggota komunitas ini umumnya berusia 25-40 tahun. Mereka generasi yang pernah mengalami ingar bingar musik hard rock, grunge, dan punk rock era 1990-an. Pearl Jam adalah salah satu grup rock yang ketika itu amat populer di samping Nirvana dan Gun’s N Roses.

Irwansyah Reza Lubis (38), pentolan PJId, mengaku mulai menggilai Pearl Jam tahun 1991. Dia mengoleksi sembilan album Pearl Jam, beberapa cendera mata resmi, kaus, dan VCD/DVD konser grup tersebut. ”Waktu itu saya belum berpikir berkumpul dengan sesama penggemar Pearl Jam.”

Tahun 1996-1997 ketika karier Pearl Jam surut, Reza justru melihat penggemar Pearl Jam di Indonesia kian banyak. Indikasinya, banyak anak muda membubuhi Vedder, nama belakang vokalis Pearl Jam, Eddie Vedder, di belakang nama mereka. Contohnya Awang Vedder, Ega Vedder, dan Gofur Vedder.

Kondisi ini mendorong Reza membuat milis Selai Mutiara yang merupakan terjemahan bebas dari Pearl Jam. ”Waktu itu respons belum bagus. Setahun hanya ada 100 anggota milis,” kata dia.

Pada saat hampir bersamaan, Reza menemukan milis penggemar Pearl Jam lain, Ten Club Indonesia, yang anggotanya sekitar 200 orang. Tahun 2005, kedua milis ini bergabung dan berganti nama menjadi milis Pearl Jam Indonesia (PJId).

Saat ini, anggota milis PJId sekitar 500 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah, antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Pekanbaru, Palembang, sampai Papua. Hampir setiap tahun mereka bertemu di ajang Pearl Jam Night yang biasanya digelar di Jakarta atau Bandung.

Di luar itu, anggota PJId di Jakarta hampir setiap minggu berkumpul. Acaranya mulai main futsal, menonton videoclip Pearl Jam, menyaksikan latihan band yang membawakan lagu Pearl Jam, sampai makan bubur ayam di Tebet.

Untuk anak-anak PJId, Pearl Jam bukan sekadar musik, melainkan juga gaya dan sikap hidup. Di mata mereka, Pearl Jam adalah bintang rock sederhana, peduli lingkungan, antiperang, dan kritis terhadap industri musik yang sering kali serakah.

”Pokoknya, mereka keren abis,” ujar Reza.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/27/02493976/pokoknya.pearl.jam.titik

Fiki, Menolak Krisis dengan Kreativitas


KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS
Rabu, 23 September 2009

Yulvianus Harjono

Di Bandung, distro memang sudah menjamur. Namun, baru satu yang bisa ”mobile” atau pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghampiri para konsumennya. Distro bergerak yang disebut Airbus One ini merupakan salah satu buah ide kreatif Fiki Satari (33) untuk sukses dalam dunia clothing dan bertahan dari krisis.

Airbus One adalah sebuah fenomena dan pembuktian dalil bahwa dalam industri kreatif tidak ada yang tidak mungkin. Mendirikan distribution outlet (distro) tanpa modal, misalnya, bukanlah suatu hal yang utopis. Buktinya, Airbus One dibuat dengan prinsip nol investasi, begitu juga biaya operasionalnya.

Pada dasarnya adalah sebuah bus, tetapi oleh Fiki bus itu disulap menjadi distro. Interior bus dirombak total. Deretan bangku diganti dengan rak dan kabinet set memanjang guna memajang T-shirt, celana, kemeja, jaket, topi, dan berbagai aksesori lain yang berlabelkan Airplane Systm.

Alat pendingin udara pun menggunakan AC yang biasa dipakai di rumah. Alat pendingin ini memakai energi listrik dari genset yang ada di bagian belakang mobil. Maklum, kalau mengandalkan AC bawaan bus, selain boros bahan bakar juga bisa membuat aki bus tekor.

Airbus One dibuat tahun 2006 dan menjadi cabang distro Airplane yang berpusat di Jalan Aceh, Bandung. Biasanya, Airbus One nongkrong di Jalan Trunojoyo atau Sultan Agung, Bandung. Di tempat inilah mahasiswa maupun siswa yang menjadi pasar potensial lalu-lalang. Distro yang unik ini bahkan tidak jarang lebih ramai dikunjungi pembeli ketimbang distro-distro lain yang ada di sepanjang jalan itu.

”Omzetnya jadi dua kali lipat dibanding toko (Jalan Aceh),” tutur alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran ini. Yang membuatnya lebih sumringah, ia tidak mengeluarkan sepeser pun untuk investasi dan operasional Airbus One.

”Pemakaian busnya menggunakan sistem kerja sama. Kalau beli kan repot, perlu biaya perawatan. Kebetulan, teman ada yang dari PO (perusahaan otobus). Bersinergilah jadinya,” tutur Fiki. Adapun biaya operasional diperoleh dari skim sponsorship.

Bagian luar bus ini dipenuhi logo-logo sponsor. ”Bus ini bisa menjadi sarana marketing yang unik. Daripada repot harus izin dan keluar duit tidak sedikit buat menyewa baliho di pinggir jalan, lebih baik mereka memasang logo di sini. Murah, bisa dilihat orang banyak dan berpindah-pindah pula,” tuturnya.

Simbiosis mutualisme

Keberadaan Airbus One juga sangat vital untuk menjalin dan menghidupi komunitas. Ini penting untuk keberlangsungan bisnis clothing yang hidup dari dan menghidupi komunitas. Sebuah perwujudan simbiosis mutualisme yang ideal di dunia fashion dan bisnis.

”Airbus One dilengkapi dengan teve plasma, sound system 4.000 watt, dan alat penerangan. Jadi, bisa dipakai buat event dan manggung,” ujar pendiri dan pemilik label Airplane Systm Clothing yang menggandeng band-band lokal macam Insurgent Army dan The SIGIT sebagai personifikasi produk mereka.

Modal utama berkecimpung di industri kreatif adalah ide. Asalkan punya ide, sumber daya manusia, dan desain yang bagus, tidak ada alasan bisnis terhambat karena krisis.

”Tahun lalu, meskipun katanya sedang krisis-krisisnya, acara KICKFest (festival clothing) bisa menyerap 300.000 pengunjung. Perputaran uang dalam tiga hari bisa Rp 3,5 miliar,” kata Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK) Indonesia ini.

”Orang masih akan mau beli untuk barang extradordinary macam ini. Asalkan produk kita punya keunikan, entah hanya packaging-nya, akan dilirik orang,” tutur Wakil Ketua Perkumpulan Komunitas Kreatif Kota Bandung ini yang saat diwawancara mengenakan kaus bertuliskan ”.Bdg”-tagline Bandung sebagai kota kreatif yang diciptakan saat Helarfest 2008 digelar.

Produk-produk clothing yang dibuat Airplane Systm ini bercirikan street fashion dengan warna musik atau budaya urban lainnya yang menonjol. Setiap desain diproduksi hanya 150-200 pieces. Sangat terbatas, layaknya produk distro lainnya. Airplane Systm didirikan Fiki tahun 2000.

Untuk itu, kreativitas dalam membuat desain mutlak hal yang sangat penting. Dalam membuat desain, Fiki menerapkan konsep kolaborasi multisektor dengan memanfaatkan jaringan pertemanan untuk merekrut tenaga-tenaga kreatif lepas. Dari sinilah dihasilkan desain-desain unik yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

”Jadi, diharapkan orang bisa beli satu set. Ketika yang karakternya swirl lagi dalam suasana kesal bisa pakai desain yang scream. Atau, lagi anteng pakai yang logic,” ujarnya. Uniknya, desain yang diluncurkan akhir Agustus lalu dan menggandeng Prambors Radio di dalam promosinya ini memanfaatkan asap obat nyamuk sebagai obyek utama.

Bermodal kreativitas dan semangat independen, produk-produk Airplane Systm mampu menembus pasar internasional hingga ke 10 negara. Singapura dan Malaysia adalah dua negara yang rutin mengimpor produk ini. Bahkan, dalam waktu dekat, Airplane Systm membuka gerai di Perancis untuk membuka celah pasar di kawasan Uni Eropa.

Perusahaan

Airplane Systm hanyalah salah satu usaha yang dimilikinya. Di bawah perusahaan holding bernama Arrasy Indonesia, ia juga membantu pemula untuk merintis bisnis clothing dengan menggandeng sejumlah komunitas, seperti bikers melalui perusahaan layanan clothing (clothing service company) yang dibuatnya.

”Dengan ini, semua orang jadi bisa punya clothing,” tutur peraih Indonesia Berprestasi Awards 2008 kategori Wirausaha dari Pro XL ini.

Bersama-sama dengan arsitek Ridwan Kamil dan pemilik Common Room, Gustaff Iskandar, Fiki mendirikan Bandung Creative City Forum (BCCF)—sekarang bernama Perkumpulan Komunitas Kreatif Kota Bandung, yaitu wadah pelaku industri kreatif di kota kembang pada awal 2008. Kurang dari setahun, mereka memotori event besar bernama Helarfest 2008.

Festival yang berlangsung dua bulan penuh itu menampilkan 38 event dan puluhan potensi ekonomi kreatif dari kelompok akar rumput ini mengundang ancungan jempol dari luar, salah satunya British Council. Meskipun disebut-sebut panitia terpaksa harus nombok, merogoh kocek pribadi demi kegiatan ini, Fiki mengatakan, BCCF tetap siap melaksanakan Helarfest 2009 yang akan dilangsungkan November-Desember ini.

Biodata • Nama: Tubagus Fiki Chikara Satari • Lahir: Bandung, 3 Februari 1976 • Istri: Puti Nadia Indadewi Satari (26) • Anak: - Rezvan Aliannaqi Satari (3) - Asytar Aliazzaqi Satari (4 bulan) • Pendidikan: - Universitas Padjadjaran, S-1 Ekonomi - Universitas Padjadjaran, S-2 Manajemen • Penghargaan: - Wirausahawan Kreatif dari British Council Indonesia (2009) - Indonesia Berprestasi Awards 2008 kategori Wirausaha dari Pro XL. • Pengalaman bisnis: - Pendiri Airplane Systm Clothing (sejak 2000) - Komisaris PT Terakorp Indonesia (2002-2007) - Pemilik dan produser eksekutif label independen

MP4AI Records (sejak 2002) - Direktur CV Lintas Arrasy Indonesia yang bergerak di bidang perdagangan (sejak 2002) - Pemilik Cafe Tungku Budisari (sejak 2005)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/23/03145448/fiki.menolak.krisis.dengan.kreativitas<

52 Rumah Joglo Kotagede Terjual - Penjual Belum Tentu Golongan Ekonomi Lemah

Jumat, 18 September 2009 | 15:45 WIB

Yogyakarta, Kompas - Belum ada tindakan riil pemerintah daerah terhadap penjualan dan pemindahan rumah Jawa joglo dari kawasan Kotagede. Idealnya, pemerintah daerah mau berinisiatif membeli, ketimbang benda cagar budaya ini pindah ke luar Yogyakarta.

Hal itu dikatakan M Natsier, Ketua Yayasan Kantil" lembaga pelestarian dan pengembangan seni budaya di Yogyakarta, Rabu (16/9). "Sepanjang pemerintah tak berinisiatif membeli, satu demi satu joglo akan dipindah ke luar Yogyakarta," katanya.

Awal September, sebuah pendapa beratap joglo di Kampung Trunojayan dijual. Untung saja, pendapa tersebut dibeli warga Kotagede yang rumahnya hanya sekitar 100 meter dari lokasi awal.

"Joglo berukuran 8 meter x 8 meter itu dijual Rp 100 juta. Sepintas cukup tinggi harganya. Namun, jika dikalkulasi dengan kualitas kayu jati tua kelas satu, nilai uang joglo itu minimal Rp 300 juta. Tapi, dengan kenyataan bahwa joglo itu dibangun tahun 1850-an,nilai sejarahnyalah yang lebih utama," papar Natsier.

Yang mengherankan, menurut Natsier, pemilik bukan termasuk golongan ekonomi lemah. Penjual tersebut malah orang kaya yang ingin membangun rumah. Joglo itu dianggap mengganggu. "Itu artinya penjualan joglo tak semata karena butuh uang," katanya.

Sejak 1985 "saat maraknya orang membeli rumah kuno" hingga saat ini sudah 52 rumah joglo terjual. Sekarang di Kotagede hanya tersisa sekitar 150 rumah Jawa joglo dan 200 pendapa Jawa dan rumah Jawa beratap limasan. Bangunan-bangunan ini didirikan 1775-1935.

Sebelum kasus di Trunojayan ini, kasus sebelumnya terjadi bulan Juni. Sebuah pendapa dan dua rumah joglo di Jalan Mondorakan, jalan utama di Kotagede, dijual dan diangkut ke kawasan Puncak, Bogor, untuk keperluan perhotelan. Pemilik yang butuh uang menjual hanya Rp 380 juta. Padahal, nilai kayunya sendiri, diperkirakan Natsier, lebih dari Rp 1 miliar.

Cagar budaya

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta M Sudibyo menuturkan, mengenai urusan membeli jogloyang merupakan benda cagar budaya ini, pemerintah daerah jelas tidak kuat. "Mau bagaimana lagi. Ini memang dilematis. Tapi, dengan harga joglo yang ratusan juta rupiah, Pemkot Yogyakarta, Pemkab Bantul, dan Pemprov DIY pun merasa berat,"ujar Sudibyo.

Kepala Dinas Pariwisata DIY Tazbir berpendapat senada. "Pemprov DIY kalau memiliki dana untuk membeli lebih baik, ketimbang joglopindah ke luar Yogyakarta. Kami bisa memanfaatkan joglo-joglo itu untuk kepentingan pariwisata," kata Tazbir. (PRA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/15451594/52.rumah.joglo.kotagede.terjual

Harta Karun Emas Mandor, Kisah Penambangan Ratusan Tahun


KOMPAS/C WAHYU HARYO PS
Seorang warga melintas di dekat kubangan bekas penambangan emas tanpa izin di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. Sebelum ada operasi penertiban yang digelar kepolisian, ribuan penambang rakyat bekerja di wilayah itu.

Penambangan

Harta Karun Emas Mandor, Kisah Penambangan Ratusan Tahun

Kamis, 17 September 2009 | 02:59 WIB

Kawasan Mandor di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, seakan ditakdirkan mewarisi ”harta karun” emas yang ditemukan lebih dari 2,5 abad yang lampau. Pengamat sosial dari Kalbar, William Chang, dalam artikelnya pernah menuliskan, seorang pengembara dan pemimpin pekerja tambang dari negeri Tiongkok bernama Lo Fong Pak, saat datang pada 1772 menyebut kawasan ini sebagai ”gunung emas”.

Riwayat eksploitasi emas di kawasan Mandor sebenarnya dimulai sejak 1740. Kala itu Raja Panembahan Mempawah Opu Daeng Manombon mendatangkan pekerja tambang dari negeri Tiongkok untuk menambang emas di sana. Sebagian emas yang diperoleh diberikan kepada pekerja tambang dan sebagian lagi diserahkan kepada raja selaku pemilik wilayah.

Melihat hasilnya begitu menggembirakan, 10 tahun kemudian Sultan Abubakar Kamaluddin dari Kerajaan Sambas di pesisir barat laut Kalimantan mengikuti langkah Raja Mempawah itu dengan mengundang belasan ribu penambang dari Tiongkok ke kawasan Monterado. Bahkan, penambang-penambang itu diberi keleluasaan untuk membuat sebuah perkumpulan atau kongsi untuk mengelola potensi emas di sana. Kongsi-kongsi penambang emas pun berjamuran di wilayah itu.

Kesultanan Pontianak yang berdiri tahun 1771 juga tertarik untuk menikmati harumnya emas di Mandor sehingga merebut wilayah itu dari kekuasaan Panembahan Mempawah pada 1789.

Kuasa eksploitasi emas atas wilayah itu tetap diberikan kepada Kongsi Lan Fong yang dibesarkan Lo Fong Pak. Penguasaan oleh kongsi itu berlangsung hampir satu abad. Saat potensi emas itu mulai menipis, penambangan emas di sana perlahan mulai ditinggalkan.

Sang waktu terus berlalu, kisah harta karun emas di Mandor pun menarik perantau dari berbagai wilayah di Kalbar untuk mencari peruntungan. Remah-remah emas yang ditemukan di wilayah itu ternyata masih menggiurkan. Eksplorasi secara sporadis pun berkembang dengan pola penambangan menggunakan mesin diesel untuk menggali lubang-lubang di tanah maupun di pinggir sungai.

Kondisi ini mengubah wajah hutan Mandor dan sungai di sekitarnya yang semula asri menjadi sarat akan kerusakan lingkungan. Beban lingkungan semakin berat manakala penambang menggunakan logam berat merkuri untuk menyatukan butiran emas.

Camat Mandor Marius Baneng mengungkapkan, saat ini ada sekitar 300 unit mesin diesel yang digunakan penambang. Jika satu mesin digunakan oleh sekitar 10-15 penambang, maka total penambang di kawasan Mandor berkisar 3.000 orang.

Aktivitas PETI di Kabupaten Landak tidak hanya ada di Kecamatan Mandor, tetapi juga di Kecamatan Kuala Behe dan Serimbu. Camat Kuala Behe Herman Masnur mengungkapkan, di wilayah itu ada sekitar 50 unit mesin diesel yang digunakan untuk menambang, di mana setiap unit menyerap 6-8 penambang.

Bupati Landak Adrianus Sidot saat dihubungi menyatakan, penambangan emas di Kabupaten Landak menjadi persoalan manakala prosedur penambangannya justru menimbulkan kerusakan lingkungan. Persoalan makin pelik karena munculnya penambangan ini berkaitan dengan urusan perut masyarakatnya.

”Upaya mengalihkan mata pencarian masyarakat ke perkebunan karet rakyat dan pertanian sudah dilakukan pemda dalam dua tahun terakhir, namun diakui upaya itu juga belum optimal karena kemampuan pemda terbatas,” katanya.

Untuk mengakomodasi penyelesaian masalah ini, pihaknya juga tengah berupaya merancang peraturan daerah tentang wilayah pertambangan rakyat (WPR). Harapannya dapat diatur wilayah mana saja yang boleh dan tidak boleh ditambang oleh rakyat. Wilayah hutan, cagar alam, serta daerah aliran sungai, misalnya, tetap tidak boleh ditambang.

Raperda diharapkan juga mengatur tentang metode penambangan dan pembuangan limbahnya sehingga tidak merusak lingkungan. Raperda ini kemungkinan masih harus menyesuaikan ketentuan undang-undang pertambangan yang baru dan dibahas beberapa pekan mendatang. (why)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/02592567/harta.karun.emas.mandor.kisah.penambangan.ratusan.tahun