ARKEOLOGI - Sumur Mataram Kuno Ditemukan


KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Karsinah (58) mengukur kedalaman sumur kuno yang ditemukan tak sengaja dalam penggalian di lahannya, di Dusun Cibuk Kidul, Margoluwih, Seyegan, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (20/11).


Senin, 23 November 2009

Sleman, Kompas - Sebuah sumur yang diduga sumur pada zaman kerajaan Mataram Kuno ditemukan warga di kawasan persawahan, Dusun Cibuk Kidul, Margoluwih, Seyegan, Sleman, DI Yogyakarta. Sumur tersebut diduga bagian dari permukiman masyarakat kuno Mataram pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi.

Sumur itu terkubur sekitar 1 meter di dalam tanah. Seorang warga, Parman, menemukannya secara tidak sengaja saat menggali tanah liat untuk usaha batu bata, sekitar dua minggu lalu.

”Dia tidak memberitahukan kepada siapa pun soal penemuan itu sampai kemarin,” kata Karsinah (58), pemilik lahan yang menyewakan tanahnya kepada Parman, ketika ditemui di lokasi, Jumat (20/11).

Mulut sumur berdiameter sekitar 50 cm, kedalaman sekitar 1 meter. Tak seperti sumur umumnya, pinggirannya berlapis gerabah—bahan untuk membuat kendi. Di sekitarnya ada puluhan batu bata merah berukuran tiga kali lebih besar dari bata biasa dan dua arca kepala Nandi.

Beberapa bata dibiarkan berserakan di tepi kali kecil, sekitar 10 meter dari lokasi. Seorang warga dusun mengaku pernah memakai bata kuno itu sebagai pijakan jamban.

Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta Tri Hartono mengatakan, pihaknya masih meneliti sumur tersebut. Pihak BP3 Yogyakarta telah membawa sampel bata merah dan dua arca Nandi untuk penyelidikan lebih jauh.

Tri mengatakan, kemungkinan besar sumur itu berasal dari masa klasik abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, periode Kerajaan Mataram Kuno. Sumur diperkirakan bagian dari perkampungan. ”Di Kabupaten Bantul juga banyak ditemukan sumur serupa,” ujarnya.

Dugaan ini, lanjut Tri, didukung banyaknya temuan arkeologis lain di sekitar Kecamatan Seyegan. Soal kondisi terbengkalai, Tri menyatakan, pihaknya berkoordinasi dengan Badan Arkeologi Yogyakarta untuk penelitian, rencana sterilisasi, dan pengamanan lokasi itu. (ENG)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/23/03212088/sumur.mataram.kuno.ditemukan

Kebudayaan Belum Diperjuangkan


KOMPAS/LASTI KURNIA
Jero Wacik

Selasa, 20 Oktober 2009


SEMARANG, KOMPAS.com- Budayawan Agus Maladi di Kota Semarang, Selasa (20/10), mengatakan, pemerintah di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata selama lima tahun terakhir belum memperjuangan kebudayaan. Kebudayaan masih dipandang sebagai komoditas dagang yang dijual dalam kemasan wisata.

Agus yang juga pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang itu mengkritik kinerja Menteri Budpar Jero Wacik yang selama ini sukses memanajemen wisata tetapi tidak dapat mengembangkan budaya. Akibatnya, substansi kebudayaan kian luntur.

"Mungkin juga karena pengaruh latar belakang Jero Wacik yang dari sektor pariwisata. Namun, terlepas dari itu, seharusnya ada pemisahan antara bidang kebudayaan dan pariwisata. Dua bidang itu sangat berbeda," kata Agus.

Kebudayaan berbicara mengenai nilai-nilai, sedangkan pariwisata bicara tentang bagaimana mengelola aset, dan menjualnya untuk mendapat keuntungan. Karena itu, sulit ketika dua hal itu dijadikan satu.

Jero Wacik, menurut Agus, dapat dikatakan berhasil dalam mengelola wisata karena target secara angka dapat dicapai. Namun di sisi lain, itu menyebabkan kebudayaan Indonesia menjadi sekadar komoditas. Bahkan timbul rekayasa kebudayaan.

Budaya tidak dapat disederhanakan menjadi sebatas kesenian dan pertunjukan. Ketika pemahaman tentang budaya menjadi sempit, timbullah perasaan marah ketika ada klaim dari negara lain. "Diplomasi kebudayaan kita masih sangat kurang," ujar Agus.

Agus juga mengatakan, ketiadaan lembaga budaya memberi pengaruh besar terhadap merosotnya nilai-nilai budaya. Pemerintahan ke depan seharusnya memperhitungkan hal itu.

UTI

Editor: msh

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/10/20/19275028/kebudayaan.belum.diperjuangkan.

20 TAHUN TEMBOK BERLIN - Anekdot Era Komunis Tetap Hidup

Selasa, 3 November 2009

Moskwa, Senin - Runtuhnya komunisme seiring dengan dirobohkannya Tembok Berlin, 9 November 1989, tidak secara otomatis menghapuskan semua hal yang terkait dengan komunisme.

Humor-humor yang hidup semasa komunisme masih berjaya di Jerman Timur dan Uni Soviet ketika itu terus bertahan hingga saat ini. Bahkan, kerinduan akan humor-humor yang dulu dianggap subversif itu kini malahan mencuat kembali. Humor-humor itulah yang dulu menjadi pemersatu sekaligus penyemangat warga untuk tetap memperjuangkan runtuhnya komunisme di negeri mereka.

Humor-humor eks era komunisme itu kini menjadi pemersatu warga mulai dari Berlin hingga Moskwa. Mereka pun kini bisa menikmatinya sambil tertawa bebas.

Misalnya, ”Mengapa Uni Soviet memutuskan tidak mengirim manusia ke Bulan? Mereka takut orang-orang itu akan meminta suaka politik”.

Anekdot lain yang tak kalah lucu berhubungan dengan pemimpin terakhir Jerman Timur, Erich Honecker, yang memerintahkan seorang menterinya untuk merobohkan Tembok Berlin. Menteri yang digambarkan bodoh itu bertanya, mengapa? ”Saya tidak ingin sendirian,” jawab Honecker.

Humor-humor politik yang di Rusia disebut anekdoti itu tidak hanya berhubungan dengan para pemimpin politik saat itu, tetapi juga partai komunis yang sangat ditabukan pada masanya.

Salah satu anekdot, misalnya teka-teki ini. ”Apa yang memiliki 70 gigi dan empat kaki? Seekor buaya. Apa yang memiliki empat gigi dan 70 kaki? Komite Sentral Partai Komunis.”

Di Jerman Timur atau dulu disebut Republik Demokratik Jerman, anekdot-anekdot seperti itu disebut ”Witze”, yang kemudian lebih populer lagi dengan sebutan ”3-7 Witze”. Sebutan itu diambil dari hukuman penjara tiga tahun untuk mereka yang tertangkap mendengarkan humor subversif itu dan hukuman tujuh tahun untuk mereka yang menyebarkan humor tersebut.

Tidak hilang

Meski demikian, humor-humor sinis seperti itu tidak pernah hilang dari masyarakat. Bahkan, hukuman atas penyebarluasan anekdot politik ini juga dijadikan anekdot oleh sejumlah orang.

”Tahun ini mereka menyelenggarakan lagi Festival Humor-humor Politik. Hadiah pertama, 10 tahun liburan musim dingin di Siberia”.

Anekdot itu menyasar hukuman penjara di Siberia yang dikenal karena suhu dinginnya yang menyengat.

Dogma komunisme pun tidak luput jadi bahan banyolan. ”Kapitalisme adalah eksploitasi manusia oleh manusia. Komunisme adalah persis sebaliknya”.

Anekdot-anekdot lain juga merekam iklim ketakutan yang dialami rakyat di negara-negara blok komunis.

Salah satunya digambarkan dalam anekdot mengenai percakapan antara tiga teman di sebuah kamp pekerja Soviet.

”Saya terlambat bekerja lima menit dan didakwa dengan sabotase,” kata orang pertama.

”Saya lima menit lebih awal dan dihukum dengan dakwaan spionase,” kata orang kedua.

”Saya datang tepat waktu dan saya dituduh menyelundupkan jam tangan buatan Barat,” kata orang ketiga.

Bahkan, perang Soviet di Afganistan pada 1980-an pun tak luput jadi bahan ketawaan ketika orang-orang mempertanyakan, apa yang diperoleh Moskwa dari mengirimkan pasukan ke sana.

”Pasti ada sebuah strategi untuk menyebarluaskan surga komunis ke dunia. Uni Soviet memprosesnya secara abjad”.

Anekdot sinis berbau politik, nyatalah tak kenal takut dan hidup pada berbagai peristiwa.

Pada peringatan 65 tahun Revolusi Bolshevik (1917), yang diperingati meriah di Uni Soviet, banyak pembangkang membuat humor bahwa Uni Soviet akhirnya mencapai usia pensiun.

”Mana yang lebih baik, sebuah neraka komunis atau sebuah neraka kapitalis? Tentu saja jawabannya neraka komunis! Selalu terjadi kelangkaan korek api dan bahan bakar, pemanas selalu rusak, dan para iblis serta makhluk-makhluknya selalu sibuk dengan pertemuan-pertemuan partai,” demikian sebuah anekdot pada masa itu. (AFP/OKI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/03/04010641/anekdot..era.komunis..tetap.hidup

Sidang di Rumah Mangunwijaya

Kamis, 29 Oktober 2009

Semilir angin membuat sejuk ruang pertemuan di rumah budayawan YB Mangunwijaya Pr atau Romo Mangun, Minggu (25/10). Namun, sidang bagi para penulis muda di dalamnya berlangsung panas. Seorang remaja putri sedang menjadi terdakwa tercenung, tak mampu membela diri.

Adegan tersebut terjadi dalam Pelatihan Penulisan Kreatif yang diselenggarakan Persahabatan Wartawan Cilik Yogyakarta (PWCY) dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda 2008 dan dalam rangka memaknai 80 tahun YB Mangunwijaya. Sidang yang diikuti 20 peserta berusia 10-20 tahun itu merupakan salah satu sesi pelatihan di mana beberapa naskah para peserta diulas dan dikiritik.

Dihiasi poster besar Romo Mangun yang tergantung di dinding ruangan, Zheitta Vazza Devi (18), demikian nama lengkap remaja putri itu, menerima dakwaan dan penghakiman sekaligus. Wajahnya tertunduk lesu, sembari membolak-balik naskah tulisan terbarunya yang tengah dihujani kritik para hakim merangkap jaksa. Suara cadelnya yang sesaat lalu masih terdengar nyaring menimpali, kini terdiam.

Sepintas lalu, sidang itu terlihat bukan sidang yang adil. Di hadapan 20 rekannya, Vazza, demikian remaja tunarungu itu disapa, berhadapan dengan empat orang yang telah belasan tahun bergelut di bidang sastra. Namun, dengan menilik fakta bahwa tiga novel telah dia hasilkan, wajar Vazza duduk di kursi terdakwa.

Selama sekitar 30 menit, naskah tulisan terbaru Vazza berjudul Loverpool di Love Vegas menuai kritik pedas dari para hakim. Naskah novel setebal 17 halaman itu bercerita tentang kisah nyata yang Vazza alami sebagai remaja tunarungu. Sakit hati karena ejekan atau rasa terkucil karena berbeda terangkum di dalamnya.

Kritik-kritik yang terlontar terutama berkutat pada judul yang dia pilih. "Judul ini seperti hanya mengisahkan kisah percintaan remaja, padahal isi cerita tentang penemuan jati diri. Kesannya seksi, tetapi tidak sesuai dengan naskah. Jujur saya merasa tertipu," kata John de Santo dari ASMI Santa Maria Yogyakarta, yang siang itu turut menjadi salah seorang hakim.

Sama pedasnya, Editor Galang Press AA Kunto mengatakan, judul tersebut terkesan datar dan sama sekali tidak menyampaikan pesan. Padahal, meskipun pendek, judul buku seharusnya memberi gambaran akan pesan yang ingin disampaikan.

Kunto juga mengkritisi ego Vazza yang tecermin sangat kuat dalam tulisan. Karena ego itu, tulisan terkesan berceramah dan menggurui. Sidang Vazza siang itu ditutup nasihat dan saran Kunto yang cukup mendinginkan hati yang mulai panas. "Sebagai seorang penulis, kita harus terlebih dulu menyingkirkan ego kita," salah satu nasihatnya.

Tidak seperti sidang di pengadilan, sidang ini diakhiri keakraban dari senior dan yunior-yuniornya. Tidak ada sakit hati. Sesi selanjutnya pun menjadi ajang tukar ide untuk mengembangkan gagasan tulisan para peserta. Selain Vazza, 19 peserta dalam pelatihan itu rata-rata telah menghasilkan tulisan yang telah dimuat di berbagai media massa.

"Saya malah senang karena tahu di mana letak kekurangan saya," ujar Vazza di akhir sidang.

Pil pahit

Tak salah bila sidang itu diibaratkan dengan jamu atau pil pahit. "Pahit tetapi perlu demi kebaikan peserta. Sidang seperti ini akan terus berkesan pada orang yang karyanya dikritik," tuturnya.

Menurut Sutrisno, acara dimaksudkan untuk membina para penulis muda di Yogyakarta yang mempunyai potensi besar, tetapi kurang diketahui masyarakat. Besarnya potensi ini terlihat dari banyaknya hasil tulisan yang dihasilkan. Menurut pantauan PWCY, dalam sebulan anak-anak Yogyakarta mampu menghasilkan sekitar 30-50 tulisan yang diterbitkan di berbagai media massa.

Hal itu pula yang menjadi alasan peringatan Sumpah Pemuda PWCY yang berlangsung 24-26 Oktober itu mengambil tempat di rumah Mangunwijaya. Para penulis muda ini perlu mengenal nilai-nilai tokoh yang meninggal dunia tahun 1991 sebagai sumber inspirasi.

Di rumah setengah kayu berarsitektur tropis dengan bahan material bekas yang terletak di Gang Kuwera, Jalan Gejayan, Sleman, itu para penulis muda akan bersentuhan dengan kesederhanaan Mangunwijaya.

Para penulis muda itu juga akan memperoleh sedikit gambaran, dalam proses kreatifnya, Mangunwijaya tetap bergelut dengan masyarakat di perkampungan. Di rumah itu juga terlihat banyak koleksi Mangunwijaya yang bisa dibaca. "Saya berharap, dari perkenalan pertama ini, mereka akan lebih tertarik lagi dengan Romo Mangun," ujarnya.

Sutrisno mengatakan, sebagian besar penulis muda saat ini mengangkat tema-tema gaya hidup, keluarga, maupun percintaan. Tema-tema ini minim persinggungannya dengan masalah sosial atau tema-tema yang lebih dalam. Perkenalan dengan Mangunwijaya diharapkan membentuk kepekaan sosial dan kemanusiaan yang belakangan makin langkah tumbuh di kalangan remaja. (IRE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/11251614/sidang.di.rumah.mangunwijaya

Kreativitas Mesti Mengakar dari Budaya - Karya Rendra Menjadi Inspirasi Sumpah Pemuda

Kamis, 29 Oktober 2009

Bandung, Kompas - Globalisasi dan gaya hidup hedonis dewasa ini cenderung memasung kreativitas anak-anak muda, khususnya di bidang seni budaya. Sebelum terlambat, gerakan kembali ke tata nilai adat harus mulai diperkenalkan lagi kepada generasi muda.

"Kita berjuang untuk kemerdekaan, 81 tahun lalu. Tapi, saat ini tantangannya berbeda. Kita harus berjuang untuk berdiri sendiri. Berjuang agar kreativitas tidak mati," tutur seniman Aat Suratin dalam pembukaan Bandung Mengenang Rendra, Rabu (28/10) di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.

Acara yang dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, sejumlah seniman, dan perwakilan pemuda ini terkait pula dengan peringatan Sumpah Pemuda. Menurut Aat yang juga ketua penyelenggara acara ini, karya-karya Rendra selama ini memberikan inspirasi kaum muda tentang nasionalisme.

"Semangat Rendra menggambarkan kepada kita agar tidak pernah berhenti berkreasi. Tidak henti-hentinya pula dia mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga akal sehat. Tetapi, lihatlah sekarang, tidak ada lagi akal sehat ketika mahasiswa satu kampus menyerang mahasiswa lainnya," ia mengungkapkan keprihatinannya.

Yang tidak kalah memprihatinkan, tuturnya, kreativitas generasi muda dalam berseni saat ini seolah telah terpasung. "Gaya hidup, ekspresi, dan selera seni kita telah banyak didikte oleh kebudayaan asing. Bahkan estetika yang seyogianya adalah hal individu juga telah terpengaruh," ucapnya.

Krisis identitas

Keprihatinan senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan. Ia mengatakan, masyarakat, khususnya kaum muda, kini mengalami krisis identitas. "Kita telah pergi meninggalkan identitas kita, sementara sistem tata nilai dari luar tidak bisa sepenuhnya diambil. Kita jadi mengambang, tidak jelas," paparnya.

Dalam diskusi "Hukum Adat dalam Perspektif Kebangsaan" yang merupakan rangkaian acara Bandung Mengenang Rendra, ia pun mengkritisi jargon ekonomi kreatif yang kini didengung-dengungkan di banyak kota, khususnya Bandung. Menurut dia, ekonomi kreatif akan menjadi percuma, kehilangan arah, jika tidak mengakar pada budaya.

Ia mencontohkan kondisi ekonomi sekarang yang dipenuhi berbagai persoalan macam krisis energi, pangan, bahkan isu perubahan iklim. "Pembangunan demikian tidak akan membawa kita keluar dari krisis. Sebaliknya, praktik di komunitas adat, macam Kampung Naga, Ciptagelar, atau Badui, selama ini terbukti justru tidak pernah terlibat krisis-krisis itu," ungkapnya.

Pendidikan, menurut dia, memiliki pengaruh yang besar terhadap mulai lunturnya identitas kebangsaan generasi muda saat ini. "Sistem pendidikan kita saat ini tidak memberi ruang atau mendorong tata nilai adat hidup di masyarakat. Malahan, berlomba-lomba mengadopsi dari luar," tuturnya.

Dalam acara ini, Dede Yusuf membacakan "Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api" karya WS Rendra. Dengan penuh penghayatan ia membawakan sajak yang berkisah tentang ironi mantan pejuang Bandung Lautan Api.

"Dahulu, sejumlah karya seni seperti yang diciptakan Rendra merupakan bagian dari alat perjuangan, ketidakpuasan terhadap kondisi. Sekarang seni itu mestinya tetap dapat menjadi alat perjuangan, misalnya menyuarakan kemiskinan," ucap Dede. (jon)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/12532767/kreativitas.mesti.mengakar.dari.budaya

Kepariwisataan - Pariwisata Belum Berorientasi Industri

Kamis, 29 Oktober 2009

BANDUNG, KOMPAS - Pengelolaan sektor pariwisata di Jawa Barat dinilai masih lemah karena belum dikerjakan dengan manajemen yang profesional layaknya sebuah industri. Bahkan, banyak pula obyek wisata yang dikelola aparatur daerah Jabar dengan kemampuan pas-pasan.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, dalam pemaparan rencana kerja daerah, Rabu (28/10), mengatakan, kondisi itu akan diubah dengan paradigma baru. "Obyek wisata seharusnya tidak sekadar menampilkan keindahan alam. Lokasi wisata harus dikembangkan dengan memerhatikan pelayanan kepada konsumen atau wisatawan layaknya di dunia komersial," katanya.

Paradigma industri dan komersial juga harus diterapkan untuk mengelola seni dan budaya lokal. Selama ini masih banyak kekayaan seni dan budaya Jabar, seperti tari-tarian dan upacara adat, yang dibiarkan tumbuh berkembang sendiri tanpa sentuhan profesional.

Ia juga mencontohkan Bali sebagai daerah yang mampu mengoptimalkan potensi wisatanya dan bahkan menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) terbesar. Kondisi itu berbeda dengan Jabar yang kontribusi PAD dari sektor pariwisata masih di bawah 5 persen. Untuk itu, pengembangan budaya lokal dan destinasi wisata dimasukkan dalam 10 program utama daerah pada tahun 2010.

Mulai 2010

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Herdiwan mengakui, pengembangan pariwisata dengan manajemen industri memang belum optimal di Jabar. "Upaya ke arah sana akan dimulai tahun 2010, antara lain dengan pembangunan gedung pertunjukan seni yang representatif di Bandung," katanya.

Gedung kesenian itu rencananya dibangun di kawasan Arcamanik, yakni berdekatan dengan Gelanggang Olahraga Arcamanik. Biaya awal pembangunan gedung pertunjukan itu sekitar Rp 50 miliar. Itu ditargetkan bisa setara dengan Taman Ismail Marzuki di Jakarta.

"Dengan adanya gedung kesenian yang representataif, pertunjukan seni dan budaya Jabar diharapkan lebih sering dilakukan. Hal itu juga akan diikuti dengan penataan yang lebih profesional, misalnya pengaturan tata panggung, pencahayaan, atau koreografi pertunjukan," ujarnya.

Pengamat budaya Halim HD mengingatkan pemerintah daerah jangan hanya mengejar keuntungan ekonomis dari pengembangan seni dan budaya. "Keberadaan gedung-gedung pertunjukan harus juga menjadi wahana pelestarian seni dan budaya, misalnya dengan penampilan dan pengajaran seni-seni tradisi," paparnya.

Halim menambahkan, dampak ekonomis dari kelestarian seni dan budaya akan terasa bagi daerah sekitar. Sebab, kelestarian seni dan budaya lokal akan menarik perhatian wisatawan. (REK)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/11183511/pariwisata.belum.berorientasi.industri

Festival Film Animasi - Saat Animasi Masuk Desa

Kamis, 29 Oktober 2009

Sejumlah anak muda terdiam dan larut dalam imajinasi mereka masing-masing saat mendengarkan sebuah lagu. Lagu religi ciptaan Muslich yang bercerita tentang suka cita keluarga dalam merayakan Lebaran seperti menjadi inspirasi anak-anak muda itu.

Pandangan salah satu peserta workshop, Eliana (15), sempat menerawang ke langit-langit ruangan. Lantas ia dengan cepat menuangkan ke dalam tulisan singkat. Beberapa saat kemudian muncul sosok karakter perempuan berjilbab di atas kertasnya. Nantinya, karakter ciptaan mereka inilah yang dijadikan tokoh dalam film animasi.

Sepanjang Rabu (28/10), begitulah kesibukan peserta workshop yang digelar dalam rangkaian kegiatan Festival Film Animasi Indonesia 2009. Bertempat di sebuah ruangan milik Grabag TV, Kecamatan Grabag, Magelang, selama tiga hari, sejak Rabu (28/10) sampai Jumat (30/10), mereka berlatih melahirkan film animasi sederhana berdurasi empat menit. Proses dimulai dari penggalian ide. Lantas dengan teknik cut out, ide dituangkan dalam bentuk gambar yang disusun menjadi kolase dan direkam dengan still photo. Tahap berikutnya, peserta akan menggabungkan gambar dengan perangkat komputer untuk menghidupkan setiap karakter.

Eliana mengakui, pelatihan kali ini merupakan pengalaman pertamanya membuat animasi setelah sebelumnya hanya bisa menonton lewat televisi. Peserta lainnya, Mahrus (25), pun mengatakan ingin terus mengembangkan ilmu yang didapat selama pelatihan. Angkat budaya lokal

Memberikan pengalaman baru bagi peserta tersebut merupakan misi kecil Festival Film Animasi ini. Ada keinginan berbagi ilmu hingga jauh ke desa. Menurut Direktur FFAI 2009 Gotot Prakosa, animasi diperkenalkan sebagai edukasi membangun kreativitas di desa-desa. "Kita memiliki banyak cerita berbasis budaya seperti wayang atau relief candi yang bisa dijadikan ide," ujar Gotot.

Pelatihan animasi di sejumlah desa itu merupakan usaha untuk mengangkat cerita yang lebih dekat dengan kebudayaan lokal, seperti dari cerita dan sisi visual yang bermuatan lokal. Selama ini animasi di Indonesia lebih banyak berkiblat ke Jepang. Gotot mencontohkan teknik animasi yang diajarkan dalam workshop tersebut hampir seperti wayang kulit, yaitu berupa animasi bayangan dua dimensi.

Salah satu mentor dari Finlandia, Bernice, yang selalu memutari meja untuk melihat karya peserta mengatakan, kesabaran menjadi kunci penting dalam membuat animasi. (Raditya Mahendra Yasa)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/14435363/saat.animasi.masuk.desa

PUISI SUMPAH PEMUDA DI KERETA

Regol
Kamis, 29 Oktober 2009

Sepuluh mahasiswa Pharmaceutical Entertainer Universitas Islam Indonesia memperingati Sumpah Pemuda dengan membaca puisi di Kereta Api Prambanan Ekspres Solo-Yogyakarta, Rabu (28/10). Kegiatan dikaitkan dengan Bulan Bahasa dan Sastra sepanjang Oktober. Dua puisi Karawang Bekasi (Chairil Anwar) dan Indonesia, Tanah Tumpah Darahku (Muhammad Yamin) dipilih. Pembacaan diiringi lagu Bagimu Negeri karya C Simanjuntak dinyanyikan paduan suara Pharmaceutical Entertainer UII. Pembina acara, Sukir Satrija Jati mengatakan, puisi Chairil dan Yamin dipilih karena mewakili sosok generasi muda yang berjuang melalui bahasa dan karya sastra pada zamannya. (IRE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/14450823/regol

Kondisi Museum di Yogyakarta Memprihatinkan

Kondisi sebagian besar museum di Daerah Istimewa Yogyakarta memprihatinkan. Selain tingkat keamanan yang rendah, museum juga belum mempunyai ruang penyimpanan koleksi dan laboratorium konservasi yang layak. Akibatnya, ratusan koleksi bernilai tinggi terancam hilang atau rusak. Kepala Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta Djoko Dwiyanto, Selasa (27/10), mengatakan, dari 36 museum yang ada di DIY, belum satu pun yang mempunyai ruang penyimpanan ataupun laboratorium konservasi yang layak. Pengelola museum sekadar menumpuk koleksi yang tidak dipamerkan atau membiarkan koleksi di ruang terbuka. (IRE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/03532635/langkan

Bersama Joanna, Keroncong Mendunia


KOMPAS/NELI TRIANA

Kamis, 29 Oktober 2009

Neli Triana

Sebuah penampilan tak terduga membuat penonton terperenyak pada pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009 di Konzerthaus, Berlin, Jerman, Rabu (7/10). Lampu penerang di tempat duduk penonton meredup, berganti sorotan sinar langsung ke tengah panggung. Tampak berdiri seorang perempuan kulit putih dan intro lagu keroncong ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” terdengar.

Dari mulut perempuan itu, Joanna Dudley, lirik lagu ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” disenandungkan. ”Di bawah sinar bulan purnama… air laut berkilauan… berayun-ayun ombak mengalir… ke pantai senda gurauan…”

Penampilan Joanna terbilang unik. Ia mengenakan kimono, pakaian khas Jepang, kontras dengan para pemusik pengiring yang berpakaian formal. Suaranya menggema di ruangan Konzerthaus, berpadu dengan suara berbagai alat musik membuat penonton terpukau.

Memang ada beberapa pengucapan yang ”keseleo lidah”, tetapi cengkok keroncong Joanna terasa pas. Orang teringat penampilan Sundari Soekotjo dan Waldjinah.

Di tengah pertunjukan, seperti tersadar, sebagian penonton buru-buru merekam penampilan Joanna. Tepuk tangan bergemuruh di Konzerthaus saat Joanna mengakhiri lagunya.

Tak kurang Gubernur Negara Bagian Berlin Klaus Wowereit memberi tepukan penghormatan dan menyambut salam Joanna dari atas panggung. Joanna lalu menggeser langkahnya. Ia beringsut pelan-pelan hingga hilang di balik panggung, tanpa pernah memalingkan wajah dari penonton. Senyumnya terus berkembang.

Didikan Waldjinah

”Saya rasa keroncong adalah musik terindah. Pertama kali mendengarnya beberapa tahun lalu, langsung membuat saya jatuh cinta dan ingin belajar menyanyikannya,” kata Joanna.

Joanna mengisahkan, dia mendengar lagu keroncong saat berada di Adelaide, Australia, sekitar lima tahun lalu. Selain sering didendangkan di konser musik lokal di kampus oleh mahasiswa, ternyata banyak penyanyi dan musikus keroncong asal Indonesia yang diundang ke Australia. Mereka menjadi bintang tamu pertunjukan atau sebagai pengajar. Berawal dari sini, Joanna makin tertarik pada keroncong dan berniat belajar dari ahlinya.

Setelah mencari tahu, perempuan kelahiran London, Inggris, ini menemukan nama Waldjinah, maestro keroncong asal Solo, Jawa Tengah. Tanpa berpikir panjang, dia berupaya menghubungi Waldjinah. Gayung bersambut, keinginan Joanna untuk belajar keroncong diterima Waldjinah.

Pada 2005 hingga 2009, perempuan yang tinggal dan bekerja di Australia dan Jerman ini bolak-balik ke Solo untuk berguru keroncong. Seperti perasaannya terhadap keroncong, Joanna pun jatuh cinta pada Kota Solo. Di Solo, aura tradisionalnya masih kental dan mendukung suasana hati Joanna yang bersemangat memperdalam keroncong.

”Sudah 4,5 tahun ini saya belajar. Bagi saya, Waldjinah bukan cuma guru, tetapi seorang master. Ia mengajari saya menjiwai lagu, memahami dan menyelami maknanya, kemudian menyanyikannya dengan lafal bahasa Indonesia yang benar. Tentu saja masih banyak kekurangan dan kesalahan yang saya lakukan. Saya belum akan berhenti belajar,” katanya.

Setelah beberapa waktu berlatih, Joanna sempat berkeringat dingin ketika Waldjinah memintanya menyanyikan sendiri lagu-lagu keroncong yang dipelajarinya di hadapan penonton. Apalagi ketika dia diminta membawakan lagu ”Bengawan Solo” di hadapan Gesang, saat perayaan ulang tahun ke-90 maestro keroncong itu, pada Oktober 2007.

Tidak berhenti

Joanna tidak mau berhenti pada satu titik. Dari awal, ia memiliki ketertarikan pada dunia seni pertunjukan. Ia hidup di Australia dan Jerman sebagai artis, musisi, sekaligus penyanyi. Ia mengasah bakat di bidang musik dengan bersekolah di Adelaide Conservatorium di Australia, kemudian di The Sweelink Conservatorium di Amsterdam, Belanda. Khusus untuk belajar alat musik flute, ia belajar di Tokyo, Jepang.

”Sesuatu yang baru dan kita kuasai sungguh-sungguh bisa dikolaborasikan dengan ilmu yang lebih dulu kita miliki. Kolaborasi ini akan menelurkan karya baru. Karya baru yang berbeda dan bermakna tersendiri. Dalam dunia seni, eksplorasi tidak boleh berhenti,” kata Joanna.

Berbagi ilmu juga menjadi prinsip hidupnya. Ia bukan sosok yang pelit soal ilmu, terbukti pada jadwal mengajar yang selalu terselip di antara segudang kesibukannya. Ia mengajar di akademi seni di Sierre, Swiss; akademi seni di Berlin, Jerman; dan di The Centre for Performing Arts TAFE and Elder Conservatorium di Universitas Adelaide, Australia. Dia mengajarkan berbagai disiplin seni murni, berbagai aliran tari, musik, dan pertunjukan teater.

Aktivitasnya di dunia teater dan imajinasinya yang dibiarkan terus tumbuh liar memunculkan sederet karya berkarakter kuat. Penampilan solo maupun kolaborasi dengan seniman atau artis dari berbagai negara sudah digelar di Australia, di banyak negara di Eropa, Benua Amerika, serta Asia.

Beberapa pementasan Joanna yang memadukan kepiawaiannya berakting, menari, dan menyanyi antara lain muncul lewat pertunjukan berjudul My Dearest My Fairest, The Scorpionfish, dan Who Killed Cock Robin? Karya kolaborasi lainnya, Tom’s Song, yang dipresentasikan di Festival Sonambiente, Berlin, 2006, mendapat penghargaan dari kritikus seni.

Budaya Jawa menjadi hal baru yang dia pelajari. Ia merasa sudah menyatu dengan keroncong. Kelekatan hubungannya dengan Waldjinah juga membawa Joanna mengenal sekaligus terkagum-kagum pada langgam Jawa dan musik gamelan. Penguasaan atas langgam Jawa dan gamelan menjadi obsesi Joanna selanjutnya.

”Saya juga mengenal kebaya dari Waldjinah. Pakaian tradisional ini mengagumkan, bisa menampilkan kesan anggun, feminin, dan cantik. Ini juga sebuah karya seni yang agung, dengan detail model, kain batik, sampai sanggulnya. Duh, saya senang sekali memakai kebaya,” ujarnya.

Di ujung acara pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009, Joanna sengaja berkebaya dan kembali bersenandung, ”Bengawan Solo… riwayatmu ini… sedari dulu jadi... perhatian insani...” Joanna, seperti halnya keroncong, kembali menyedot perhatian publik saat itu. Ini salah satu gambaran budaya Indonesia yang mendunia.


***




JOANNA DUDLEY

• Lahir : London, Inggris, 1971

• Pendidikan musik :
- Adelaide Conservatorium, Australia
- The Sweelinck Conservatorium, Belanda
- Seruling dan lagu klasik tradisional Jepang di Tokyo, Jepang
- Gamelan dan keroncong di Solo, Jawa Tengah

• Karier : Dia tinggal dan bekerja di Jerman dan Australia sebagai artis, musisi, dan penyanyi. Ia tengah bekerja di Schaubühne Theatre di Berlin, Jerman

• Karyanya antara lain :
- ”My Dearest My Fairest” (2000), bersama Juan Kruz Diaz Garaio de Esnaol
- ”He Taught Me to Yodel” (2002)
- ”Colours May Fade With Friction Read Instructions Carefully Store In A Cool and Dry Place No Side Effects” (2004)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/29/04011079/bersama.joanna.keroncong.mendunia

PENTAS MUSIK DAN PAMERAN - Dahsyat, Etnik di Panggung Krakatau



Kompas/Lucky Pransiska
Penampilan Dwiki Dharmawan bersama grup musik Krakatau di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (22/10). Kelompok musik yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, tahun 1984 tersebut kini beranggotakan Dwiki Dharmawan (keyboard dan synthesizer), Pra Budi Dharma (bass), Ade Rudhiana (kendang dan perkusi), Yoyon Dharsono (beragam instrumen tradisional), Zainal Arifin (gamelan dan perkusi), Gerry Herb (pemain drum), dan vokalis Nya Ina Raseuki, yang akrab dipanggil Ubiet.


Jumat, 23 Oktober 2009

Nyanyian ”Tarik Pukat” yang dieksplorasi Ubiet dari tanah leluhurnya, Aceh, menjadi antiklimaks pertunjukan Krakatau Band, Kamis (22/10) malam di Bentara Budaya Jakarta.

Bagaimana tidak, Dwiki Dharmawan dalam aksinya sampai terjengkang saat memainkan keyboard karena lagu yang didendangkan Ubiet ”dimain-mainkan” dalam tempo tinggi dan supercepat. Ratusan penonton, yang memadati halaman terbuka BBJ, terdiam bak terhipnotis.

Klimaks penampilan Krakatau Band terjadi saat Budhy Haryono menggebuk drum untuk memainkan komposisi ”Tugu Hegar”. Permainan yang dahsyat.

Aksi Budhy kemudian ditingkahi aksi Ade Rudhiana memainkan perkusi dengan kocak, sampai-sampai memukul kening segala. Dia menjadikan kening tempat sandaran perkusi, sembari tangannya liar menabuh perkusi, membuat aksi panggung Krakatau menjadi sangat hidup. Apalagi, penonton diajak turut berpartisipasi dengan bertepuk tangan.

Berkarya selama 25 tahun, Krakatau menunjukkan kepedulian dan empati yang dalam terhadap korban gempa di Kerinci, Jambi. Sebuah komposisi didendangkan Ubiet membuat bulu roma berdiri. Terasa benar kesedihan itu.

”Komposisi tadi didedikasikan untuk korban gempa di Sumatera dan Jawa Barat. Komposisi yang berisikan doa, agar selalu ingat dengan Yang Di Atas. Mendoakan korban agar dapat tempat terbaik di sisi-Nya dan berharap ke depan tak ada bencana lagi,” ujar Dwiki.

Selain mengeksplorasi warna musik etnik Kerinci, Krakatau juga menampilkan hasil eksplorasi musik etnik dari Pulau Rote, NTT.

Yang sedikit mengejutkan, Umi menampilkan tarian topeng cirebon dalam tiga karakter ketika Krakatau memainkan komposisi yang sebelumnya didominasi permainan seruling sunda oleh Yoyon Dharsono, dalam empat warna, pascadilepasnya satu per satu bagian dari seruling itu.

Tampil hampir dua jam, setelah hujan reda, Krakatau menutup pementasan dengan komposisi ”Freedom of Percussion” setelah komposisi ”Spirit of Palmerah”.

Krakatau tidak hanya menampilkan harmonisasi komposisi yang dahsyat dan memukau, tetapi juga interaksi yang padu, dan aksi panggung yang menghibur. (YURNALDI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04012089/dahsyat.etnik.di.panggung.krakatau

NABIL AWARD - Tiga Peneliti mengenai Tionghoa Terima Penghargaan

Jumat, 23 Oktober 2009

Jakarta, Kompas - Tiga peneliti yang aktif meneliti masalah integrasi etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia mendapat penghargaan dari Yayasan Nabil. Mereka dianggap berjasa dalam upaya integrasi dan proses pembangunan bangsa (nation building), baik dengan karya tulis ilmiah, penelitian, ceramah akademisi, maupun dalam pergaulan keseharian mereka.

Ketiga peneliti itu adalah Dra Myra Sidharta dan Mely G Tan, PhD (keduanya dari Indonesia) serta Prof Charles A Coppel (peneliti dari Australia). Penyerahan penghargaan dilakukan di Jakarta, Kamis (22/10).

Menurut Eddie Lembong, Pendiri dan Ketua Yayasan Nabil, pemberian penghargaan ini sebagai ungkapan terima kasih atas upaya memperkuat rantai kebangsaan yang telah dilakukan. ”Ingat, kekuatan sebuah rantai ditentukan oleh mata rantai yang paling lemah,” ujar Eddie Lembong.

Dalam penghargaan yang diselenggarakan untuk ketiga kalinya ini, untuk pertama kalinya diberikan kepada para peneliti dari Indonesia. Sebelumnya peraih penghargaan ini berasal dari Perancis, Amerika Serikat, dan Singapura.

Dalam pidato pertanggungjawaban penganugerahan Nabil Award 2009, Prof Dr Saparinah Sadli selaku Dewan Pakar Yayasan Nabil mengatakan, Myra Sidharta sangat besar peranannya dalam historiografi sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia. Upaya Myra telah dilakukan sejak pemerintahan Orde Baru, yang menabukan hal-hal yang berbau Tionghoa.

”Dalam kurun waktu 30 tahun, Myra Sidharta dengan tekun serta konsisten memberikan kontribusi penting dalam menunjukkan peranakan Tionghoa sebagai bagian integral dari sejarah bangsa Indonesia,” kata Saparinah.

Sebagai sosiolog, Mely G Tan juga dianggap banyak berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Mely meneliti etnis Tionghoa dan kaitannya dengan asimilasi, identitas, dan diskriminasi.

Pembangunan keseluruhan

Dia tidak hanya membahas pada tataran antarmasyarakat Tionghoa sendiri atau hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lain serta negara semata, tetapi juga berkaitan dengan masalah pembangunan Indonesia secara keseluruhan. ”Semua yang dilakukan Mely bermanfaat bagi proses nation building,” tutur Saparinah.

Sementara itu, Associate Prof Charles A Coppel dinilai sebagai salah satu dari sedikit sarjana luar negeri yang mengkaji etnis Indonesia-Tionghoa. Dalam berbagai studinya, Coppel mengingatkan pentingnya memahami minoritas Tionghoa dari sudut pandang budaya dan tidak melulu jatuh dalam kerangka politik kekuasaan.

”Masyarakat peranakan telah memberikan sumbangsih di berbagai bidang. Tidak bisa lagi mereka dibedakan menjadi kelompok yang lain atau satu komunitas yang terpisah dari Indonesia yang luas ini,” kata Saparinah. (ARN/ONG)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/03595145/tiga.peneliti.mengenai.tionghoa.terima.penghargaan

GRAFITI DAN MURAL - Seni Tembok Tak Lagi Sembunyi

Jumat, 23 Oktober 2009

Sore itu Movvr9, atau nama aslinya Fachri Daswianto, siswa SMA Perguruan Rakyat II Jakarta Timur, jauh-jauh dari Jatiwaringin, Jakarta Timur, main ke kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Misinya satu: meninggalkan jejak di tembok bagi klan yang dibangunnya, Great Hazard Klan.

Fachri adalah salah satu anggota ”tembok bomber”, sebutan keren bagi para seniman grafiti Indonesia. Dia pernah menjuarai kompetisi grafiti di ajang UrbanFest tahun lalu. ”Saya juara satu tahun lalu,” katanya.

Tahun ini Fachri menjadi artist utama dalam grafiti UrbanFest 2009 yang digelar di Ancol, 24-25 Oktober. Bersama teman-temannya, dia akan mendemonstrasikan keahliannya.

Semakin terarah

Di tembok sekitar perumahan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, bersama Suhelmi, teman satu klan, Fachri kembali mengunjungi tempat itu untuk kesekian kalinya. Di tembok itulah pertempuran kreativitas seni tembok terjadi hampir tiap pekan, bahkan tiap hari.

”Ini tembok legal untuk grafiti. Di sini banyak seniman, termasuk dari luar negeri. Saya sudah lima kali ke sini. Di tembok ini intensitas grafiti dan muralnya tinggi, hanya beberapa hari gambar kita sudah ditimpa orang lain,” katanya.

Apa sering terjadi perebutan daerah kekuasaan? ”Oh tidak, kami saling mengerti saja. Yang penting, kalau menimpa gambar orang, harus bagus dan rapi, jangan asal coret, itu vandalisme namanya. Kami memegang etika berkarya seni,” kata Fachri.

Oh, grafiti tak lagi menganut vandalisme tembok? ”Ya, kami makin terarah setelah sering ketemuan, silaturahim sesama artist. Kami saling mengingatkan lewat forum internet ataupun langsung ketemu,” ujarnya.

Tapi, di tembok sekitar 50 meter itu di beberapa tempat masih banyak coretan. ”Iya, di forum internet pembuat coretan itu lagi dicari,” kata Fachri.

Jika ketemu, pelaku akan dinasihati agar tak mengulangi aksinya. ”Cara seperti itu efektif, saya dulu pernah mencari pelaku vandal dan setelah ketemu saya nasihati, ternyata dia tak mengulangi perbuatannya dan jadi artist baik-baik,” tambah Fachri.

Tak harus pemberontakan

Seiring meningkatnya kesadaran estetika tembok, beberapa artist kini semakin terorganisasi dan terkoneksi dari kota satu ke kota lain, bahkan antarnegara. Mereka berbagi pengalaman dan saling memamerkan karya mereka di internet.

Di Jakarta, mereka sedang menggandrungi mural. ”Kalau mural itu, rasanya lebih puas karena orang akan mengenal karakter kita,” kata Suhelmi, yang dikenal dengan nickname Etcom dan kini kuliah di Ilmu Komputer Universitas Gunadarma, Jakarta.

Tema-tema yang diangkat makin beragam. Tak harus tema pemberontakan. Mereka akrab dengan tema damai, seperti lingkungan hidup dan budaya. ”Saya pernah membuat mural batik. Jadi, mural itu tak harus membuat karakter sangar,” kata Suhelmi.

Para orangtua dan teman-teman mereka pun mulai melek soal grafiti dan mural. ”Orangtua saya tadinya tak mendukung, tetapi begitu saya menjuarai beberapa kompetisi mereka mendukung. Kalau sekolah sih, memang tak mendukung sampai sekarang,” jelas Fachri.

Di ajang pertemuan berbagai budaya kota, mereka akan unjuk kebolehan. Jika pengin tahu aksi mereka, datang ke acara UrbanFest 2009. (Amir Sodikin)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04020940/seni.tembok.tak.lagi.sembunyi

SITUS SEJARAH - Situs Sindangbarang Bogor Terancam Hilang

Jumat, 23 Oktober 2009

Bogor, Kompas - Aktifnya biong (spekulan) tanah menawar lahan milik warga di Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, membuat tokoh adat dan Pemerintah Kabupaten Bogor resah. Pasalnya, di desa itu terdapat banyak situs sejarah yang belum tuntas penelitiannya atau malah belum sempat diteliti.

Hal ini disampaikan Wakil Bupati Bogor Karyawan Faturachman di Cibinong, Kamis (22/10). Pihak pemerintah kabupaten sudah mengetahui maraknya transaksi tanah di Desa Pasireurih yang banyak menyimpan situs Sindangbarang Bogor.

”Memang ada perusahaan pengembang yang berencana menguasai lahan sampai ke Gunung Salak. Namun, perusahaan itu belum mengajukan secara resmi permohonan izin lokasi dan lain-lainnya. Mereka baru membangun di Kota Bogor dan berencana perluasannya sampai ke kawasan wisata di Gunung Salak,” tuturnya.

Menurut Faturachman, biasanya perusahaan membeli tanah lebih dulu, baru kemudian mengajukan permohonan izin untuk berinvestasi.

”Kami imbau agar perusahaan dan masyarakat dalam aktivitas jual beli lahan di daerah bersitus memerhatikan juga pentingnya menjaga dan melestarikan situs tersebut,” katanya.

Faturachman mengatakan, kewenangan atas situs benda cagar budaya atau sejarah berada di pemerintah pusat, yaitu Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, APBD pun tidak bisa mengalokasikan dana, misalnya untuk membeli lahan atau memagari lokasi situs cagar budaya.

”Kami harus memilih, uang APBD untuk pelestarian situs atau membangun gedung SD. Kami tentu saja pilih membangun gedung SD,” ujarnya.

Sejumlah warga mengungkapkan, beberapa orang kepercayaan spekulan tanah mulai menawar lahan mereka.

”Di Kampung Cibeureum sudah banyak yang menjual tanahnya. Kalau di sini, belum ada yang mau jual tanahnya,” kata Solihin, warga setempat.

Atang, warga Kampung Sindangbarang, mengaku, memang ada orang yang memintanya untuk menjadi perantara pembelian tanah penduduk di kampungnya. Di antara lahan yang jadi incaran itu, diakuinya memang terdapat banyak situs Sindangbarang yang lokasinya terpencar.

”Namun, lahan yang ada situsnya itu adalah lahan pribadi milik warga, bukan lahan pemerintah,” ujarnya.

Tokoh adat Sindangbarang Bogor, Achmad Mikami Sumawijaya, mengatakan, di Desa Pasireurih terdapat sekitar 100 lokasi situs.

”Hanya belasan yang sudah dicatat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang,” katanya.

(RTS)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04385131/situs.sindangbarang.bogor.terancam.hilang

Sudah 10 Investor Tertarik Masuk - Pedagang Lama Pasar Tradisional Diprioritaskan

Jumat, 23 Oktober 2009

Jakarta, Kompas - Sekitar sepuluh pengembang mulai menunjukkan ketertarikan atas gagasan pembangunan ulang sejumlah pasar tradisional. Alasannya karena sebagian pasar terletak di daerah yang strategis sehingga berpotensi mendatangkan keuntungan.

Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis, Rabu (21/10), mengatakan, para pengembang mulai merespons rencana pembangunan ulang pasar. ”Beberapa pengembang sudah meminta data tentang pasar, seperti luas tanah serta status kepemilikan tanah di pasar itu,” ucap Djangga.

PD Pasar Jaya berencana membangun ulang sejumlah pasar yang bangunannya sudah tua dan rusak, seperti Pasar Bendungan Hilir, Pasar Rumput, sebagian Pasar Senen, dan Pasar Pramuka. Rencananya, bangunan pasar akan ditambah dengan hotel atau perkantoran. Tambahan bangunan ini diharapkan mampu menambah pemasukan sehingga dapat terjadi subsidi silang dalam biaya operasional pasar.

Untuk membangun ulang pasar, PD Pasar Jaya membuka kesempatan bagi siapa pun. Selain itu, pengembang dipersilakan mengajukan proposal rencana pembangunan pasar yang dikehendaki. Hingga kini, belum ada pengembang yang mengajukan proposal.

Djangga mengaku tidak memiliki prioritas atau target pembangunan ulang pertama. ”Bila ada pengembang yang bisa mengajukan tawaran paling baik, kami akan segera mulai pembangunan pasar yang ditunjuk,” ujar Djangga.

Pembangunan ulang pasar akan diarahkan untuk menciptakan pasar tradisional yang nyaman untuk berdagang, sekaligus mengoptimalkan lahan yang selama ini hanya digunakan sebagai pasar. Tamu hotel atau pekerja kantor yang nantinya menempati bangunan tambahan pasar akan menjadi pembeli potensial bagi pedagang di pasar tradisional.

Bangunan yang diperuntukkan bagi pasar tradisional berada di lantai I dan II. Tingkat di atas lantai II difungsikan untuk hotel atau perkantoran.

”Kalau pasar tradisional dibuat tiga lantai, umumnya pembeli sudah malas mendatangi lantai teratas,” tutur Djangga.

Djangga mengatakan, sedikitnya 47 pasar tradisional potensial dibangun ulang, antara lain Pasar Senen yang mempunyai 10.722 kios, Pasar Pramuka (5.938 kios), Pasar Rumput (4.259 kios), dan Pasar Tanah Abang (10.722 kios).

Prioritas

Pedagang di sejumlah pasar tradisional meminta pengelola pasar memprioritaskan mereka di kios pasar yang baru nantinya. Selain itu, mereka berharap harga sewa atau harga jual kios bisa terjangkau.

Erin, pemilik lima kios makanan di Pasar Bendungan Hilir, telah mengetahui rencana pembangunan pasar meski belum ada surat pemberitahuan resmi. Dia berharap pengelola pasar memprioritaskan kios bagi pedagang lama dengan harga terjangkau dan tidak mempersulit pedagang lama untuk mendapatkan kios. ”Harga kios juga jangan terlalu mahal. Harga jual harus terjangkau,” katanya.

Rencana pembangunan ulang pasar ini dianggapnya baik bagi perkembangan usaha karena bisa mendatangkan banyak orang untuk berbelanja.

Syumadi, pedagang di Pasar Bendungan Hilir, mengatakan setuju dengan pembangunan pasar karena bangunan telah berusia lebih dari 30 tahun dan membutuhkan perbaikan.

Syarief, pedagang pakaian di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, mengatakan belum menerima kabar tentang rencana pembangunan itu. Namun, jika rencana itu dilakukan untuk meningkatkan perekonomian pedagang, dirinya siap mendukung. Pembangunan itu diharapkan bisa mengembalikan kejayaan Pasar Rumput.

Pasar Rumput bisa ramai kembali seperti tahun 1980-2000 karena ada pula bioskop dan arena permainan anak. ”Awal tahun 2000, Pasar Rumput sepi karena pusat hiburan keluarga di lantai tiga terbakar,” kata dia.

Mardi, pedagang di Pasar Rumput, berharap pemerintah menjamin pedagang lama mendapatkan tempat yang sama dengan yang mereka tempati sebelumnya. Tanpa prioritas, Mardi khawatir akan timbul konflik.

”Rencana ini pasti mendapat dukungan pedagang karena kemungkinan kami mendapat hasil yang lebih baik. Namun, prosedur pembangunan dan penataannya harus menjadi perhatian utama pemerintah,” kata dia.

Djangga memastikan pedagang lama akan mendapatkan prioritas tempat di pasar baru. Harga bagi pedagang juga dirancang terjangkau.

”Kami juga akan menyiapkan tambahan tempat antara 10-20 persen dari kios yang ada. Tambahan ini merupakan cadangan bila ada pedagang baru yang akan masuk. Namun, prioritas kios tetap untuk pedagang lama,” papar Djangga. (CHE/ART)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/04401666/sudah.10..investor.tertarik.masuk

Promosi Wisata - Terkendala Tonjolkan Keunikan Tiap Desa Tujuan

Jumat, 23 Oktober 2009

Bantul, Kompas - Promosi desa-desa wisata yang ada di wilayah Kabupaten Bantul dinilai masih minim karena sejumlah kendala. Karenanya, kunjungan wisatawan tidak optimal dan membuat pondok-pondok wisata yang sudah dibangun jarang ditinggali wisatawan.

Kepala Bidang Pemasaran dan Kemitraan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul Diah Setiawati mengakui, selama ini promosi desa wisata di Bantul sangat lemah. Pengelola desa wisata cenderung diam dan menunggu tamu datang.

"Kami pun punya tanggung jawab untuk memasarkan desa wisata yang ada. Namun, kemampuan pemerintah tidak bisa maksimal karena keterbatasan dana. Karena dana terbatas, sejauh ini kami fokus mengembangkan Desa Wisata Kebon Agung," kata Diah dalam diskusi "Pengembangan Jasa Usaha Pondok Wisata Kawasan Gabusan-Manding-Tembi", Kamis (22/10), di Tembi, Bantul.

Menurut Diah, saat ini ada lima desa wisata di Bantul, yakni Kebon Agung, Krebet, Kasongan, Tembi, dan Lopati. Di setiap desa wisata terdapat pondok-pondok wisata milik warga. Selain itu, setiap desa wisata juga memiliki atraksi unik yang bisa dipasarkan untuk menarik wisatawan. Tak ada data

Meskipun potensinya besar, sampai saat ini belum semua pengelola desa wisata memiliki data akomodasi dan atraksi. Keterbatasan data ini membuat upaya pemasaran menjadi sulit. "Padahal, data diperlukan untuk membuat paket-paket wisata sehingga nanti akan lebih mudah dipromosikan," tutur Diah.

Untuk menggiatkan promosi, ke depan akan dijalin kerja sama dengan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia. Kedua asosiasi tersebut diharapkan membantu membina pengelola desa wisata dan membuka jaringan pemasaran.

Ketua Badan Promosi Pariwisata Kota Yogyakarta Ferry Astono mengatakan, pengembangan desa wisata mestinya disesuaikan dengan segmen pasar yang hendak dibidik. Desa wisata di wilayah Bantul sebaiknya memiliki keunikan yang tidak dimiliki desa lain. Dengan begitu, wisatawan akan mau datang untuk melihat keunikan itu. "Kalau sama saja dengan yang di kota, buat apa pergi jauh-jauh ke Bantul," ujar Ferry.

Menurut dia, segmen pasar yang jelas juga akan mempermudah upaya pemasaran ke wisatawan. Ada desa wisata yang lebih tepat dipasarkan ke sekolah-sekolah dan ada juga desa wisata yang lebih tepat ditawarkan ke rombongan keluarga.

"Asal sudah ada brosurnya, kami siap membantu memasarkan," ujar Ferry. (ARA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/23/13232219/promosi.wisata.terkendala..