Kawasan Terpadu - Hunian Vertikal yang Aman dan Nyaman

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images


Gedung perkantoran dan apartemen di Jakarta.

Kamis, 18 September 2008 | 13:48 WIB

APA impian terbesar dari warga kota metropolitan? Memiliki tempat tinggal (papan) yang dekat dengan lokasi kerja (kantor, sekolah, pusat perbelanjaan) di pusat kota.

Kemacetan lalu lintas, meningkatnya polusi, dan genangan banjir merupakan momok laten bagi warga kota. Kehilangan waktu produktif kerja dan kebersamaan keluarga, tenaga terbuang percuma di jalanan macet, dan membengkaknya biaya bahan bakar minyak atau biaya transportasi umum yang semakin mahal membuat kita harus berpikir ulang memilih tempat tinggal.

Kembali ke dalam kota merupakan jawaban yang paling realistis dan logis melihat ketidakmampuan pemerintah membenahi kota dan kota satelit yang semakin semrawut. Pemerintah harus menetapkan batas maksimal kapasitas daya sumber daya dukung kota. Pembangunan hunian vertikal berupa apartemen dan rumah susun sederhana milik (rusunami) mendapat sambutan positif dari pemerintah, pengembang besar, dan masyarakat luas.

Ada tiga kata kunci di sini, yakni pengembangan kawasan terpadu, hunian vertikal, dan isu ramah lingkungan.

Di tengah keterbatasan lahan kota, harga tanah yang mahal, dan degradasi kualitas lingkungan (banjir, rob, krisis air bersih, pencemaran udara), pengembangan kawasan terpadu hunian vertikal ramah lingkungan merupakan terobosan segar dalam pengembangan kota.

Selaras dengan UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, pengembangan kawasan terpadu di pusat-pusat kota akan memangkas besar waktu, biaya, dan tenaga yang terbuang percuma akibat kemacetan lalu lintas.

Konsentrasi penduduk di satu kawasan dengan kepadatan lebih tinggi, pertumbuhan dan perubahan kegiatan beragam dan terpadu, hemat lahan pengadaan sarana dan prasarana, kemudahan aksesibilitas dan transportasi publik sehingga mereduksi utilitas dan infrastruktur.

Penghuni tinggal berjalan kaki atau bersepeda ke berbagai tempat tujuan (kantor, sekolah, pasar, dan taman). Pembangunan kawasan terpadu hunian vertikal ramah lingkungan dapat mulai dilakukan di lokasi-lokasi langganan dan rawan banjir, rob, dan kebakaran di perkampungan padat penduduk yang kumuh sebagai bagian dari program perbaikan kampung atau peremajaan kota. Rencana pemerintah untuk merefungsi RTH (taman kota, jalur hijau bantaran kali, tepi rel kereta api, kolong jembatan layang, dan tepian situ) berdampak pada penggeseran (bukan penggusuran) warga merupakan kesempatan tepat untuk mengajak masyarakat beralih secara sukarela ke hunian vertikal yang layak huni, sehat, aman, dan nyaman.

Pemerintah harus mempersiapkan rekayasa sosial budaya karena pembangunan hunian vertikal membawa konsekuensi perubahan tata ruang kota, lingkungan hidup, dan gegar sosial budaya masyarakat dari hunian horizontal ke vertikal. Pola pikir perilaku kehidupan di hunian horizontal harus ditinggalkan, etika dan norma baru dalam kehidupan bertetangga dalam hunian vertikal, penggunaan sarana publik bersama-sama dan bertanggung jawab, seperti memakai lift dan mesin cuci bersama. Pakar psikologi sosial, perencana kota, dan perancang bangunan sepakat perubahan pola hidup masyarakat harus ditangani secara serius agar masalah sosial dan kegagalan bangunan dapat diantisipasi.

Pengembang diharapkan tidak terlalu berorientasi komersial (mencari keuntungan sebesar-besarnya) dalam membangun rusunami. Untuk itu, pengembang dapat melakukan subsidi silang dalam pengembangan kawasan terpadu dengan menerapkan komposisi 1:3:6 (modifikasi kebijakan pembangunan 1 rumah besar, 3 rumah sedang, 6 rumah sangat sederhana).

Pengembang dapat membangun satu hotel dan 3 apartemen (komersial), serta 6 rusunami (sosial) yang dilengkapi fasilitas pendidikan (taman kanak-kanak-perguruan tinggi), perkantoran, kesehatan (puskesmas, rumah sakit), perbelanjaan (pasar, hipermarket), ibadah (masjid, gereja), dan ruang hijau (taman, lapangan olahraga). Keadilan sosial dapat terwujud kala penghuni rusunami (masyarakat menengah bawah) dilibatkan sebagai sumber daya tenaga kerja di semua fasilitas yang tersedia disertai peningkatan pendidikan keterampilan penghuni.

Ramah lingkungan

Sesuai UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, pengembang dan penghuni harus terlibat mengolah sampah anorganik dan organik (reuse, reduce, recycle). Sampah anorganik dari pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, dan rusunami menjadi komoditas industri kerajinan tangan, dikelola komunitas rusunami dan dijual kembali di pusat perbelanjaan, cenderamata hotel dan apartemen.

Untuk mengurangi krisis pangan, ruang hijau, selain sebagai taman kota dan lapangan olahraga, dapat menjadi kebun sayuran, apotek hidup, dan buah-buahan yang menggunakan pupuk kompos hasil daur ulang sampah organik yang diproduksi penghuni kawasan terpadu. Sayuran dan buah-buahan untuk menyuplai kebutuhan pasar/hipermarket dan penghuni secara mandiri sehingga biaya transportasi distribusi dari luar kota dipangkas, hemat BBM, dan menurunkan pencemaran udara.

UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air mendorong warga hemat air (reduce), penggunaan kembali air untuk berbagai keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih (recycle), dan mengisi kembali air tanah (recharge) dengan sumur resapan air dan lubang biopori. Pengolahan limbah air rumah tangga (grey water) dan air hujan didaur ulang dan digunakan kembali untuk membilas kloset, menyiram taman, kebun, dan pepohonan.

Konsep ramah lingkungan telah merambah dunia sanitasi. Septic tank ramah lingkungan (biological filter septic tank) memiliki sistem penguraian secara bertahap, dilengkapi sistem disinfektan, hemat lahan, antibocor atau tidak rembes, tahan korosi, pemasangan mudah dan cepat, serta tidak membutuhkan perawatan khusus.

Kotoran diurai secara biologis dan filterisasi bertahap melalui tiga kompartemen. Media kontak dirancang khusus dan sistem disinfektan sarana pencuci hama penggunaannya sesuai kebutuhan. Buangan limbah kotoran tidak menyebabkan pencemaran pada air tanah dan lingkungan. Gas metan dipakai sebagai biogas, limbah padat menjadi pupuk organik.

Nirwono Joga Pengamat Properti Ramah Lingkungan
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/18/13480843/hunian.vertikal.yang.aman.dan.nyaman

Tak Ada Biaya Perawatan, Naskah Dijual

MANUSKRIP KUNO
Tak Ada Biaya Perawatan, Naskah Dijual

Jumat, 18 September 2009 | 04:48 WIB

Jakarta, Kompas - Karena tak ada biaya untuk perawatan, sejumlah pemilik naskah kuno cenderung menjualnya ke pedagang perantara yang masuk ke kampung. Mestinya pemerintah menyediakan dana yang memadai untuk perawatan dan penelitian naskah kuno.

”Jika anggaran pemerintah terbatas, mestinya pemerintah bisa mendorong yayasan atau perseorangan terlibat dalam penyelamatan naskah kuno,” kata filolog Suryadi, peneliti dan dosen di Leiden University, Belanda, Kamis (17/9).

Dia mencontohkan, di Inggris ada Yayasan Arcadia, yang menghimpun dana dari orang-orang kaya. Dana tersebut kemudian digunakan untuk penelitian, pelestarian, dan pemeliharaan kebudayaan tradisional, termasuk naskah kuno (manuskrip).

Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Abdul Kadir Ibrahim mengungkapkan, pihak Malaysia dan Singapura sampai sekarang terus mengincar dan menawar naskah-naskah kuno yang disimpan warga di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

”Pihak pembeli berani menawarkan harga Rp 5 juta sampai Rp 20 juta per naskah kuno. Bahkan, ada naskah yang kalau mau dijual, pembeli berani dengan harga berapa pun besarnya,” katanya.

Ia menjelaskan, naskah-naskah kuno di Kota Tanjung Pinang banyak diincar, banyak terdapat naskah kuno peninggalan Kerajaan Melayu (Riau Lingga) pada tahun 1722 sampai 1911.

Sekitar 200 tahun lalu Pulau Penyegat menjadi Pusat Kerajaan Melayu, pusat perdagangan dan pusat kebudayaan Melayu. Naskah-naskah kuno berupa catatan sejarah dan budaya banyak tersimpan di kawasan tersebut.

Naskah-naskah yang banyak diincar antara lain karya-karya Raja Ali Haji, Aisyah Sulaiman Riau, Haji Ibrahim, dan Rusydiah Club. Bahkan, untuk karya berjudul Syair Kadamuddin karya Aisyah Sulaiman Riau, berapa pun harganya, pihak pembeli berani bayar.

Pemerintah Kota Tanjung Pinang, kata Abdul Kadir Ibrahim, memberikan perhatian tinggi kepada masyarakat yang masih menyimpan naskah-naskah kuno. Bahkan, ada seorang warga mempunyai koleksi sampai 50 naskah kuno. Salah satunya Kitab Pengetahuan Bahasa, karangan Raja Ali Haji, yang ditulis abad ke-19.

”Sebagian karya yang merupakan warisan budaya Melayu yang tak ternilai harganya itu disimpan di Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang diresmikan Januari 2009 lalu,” kata Abdul Kadir Ibrahim.

Karena keterbatasan dana perawatan dan dana pengganti bagi masyarakat yang mau menyerahkannya ke museum, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang itu berharap perhatian dari pemerintah pusat. Hal itu karena, dengan keterbatasan dana, selain naskah kuno yang ada terancam hancur atau rusak, juga dikhawatirkan bisa berpindah tangan.

Kenyataan yang sama sebelumnya juga diungkapkan Mukhlis PaEni, ahli dan peneliti naskah kuno, dalam seminar ”Strategi Kebudayaan dan Pengelolaannya”, di Jakarta. ”Manuskrip Nusantara mengalir setiap hari ke tangan pembeli naskah/manuskrip yang berani membayar paling rendah Rp 5 juta untuk jenis naskah yang apa adanya dan compang-camping hingga Rp 50 juta untuk naskah-naskah utuh bahkan lebih,” katanya.

Naskah-naskah Nusantara dari berbagai daerah kebanyakan dibawa ke Malaysia dan Singapura. (NAL)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/04483343/tak.ada.biaya.perawatan.naskah.dijual

Memilah Sampah sejak dari Rumah

Forum
Memilah Sampah sejak dari Rumah

Jumat, 18 September 2009

Oleh TUTIK RACHMAWATI

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengelolaan sampah mewajibkan masyarakat dan pihak swasta memilah sampah, sedangkan pemerintah wajib mengelola sampah. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memulai upaya mewajibkan masyarakat untuk memilah sampah domestik lengkap dengan sanksi dan kompensasinya.

Walaupun baru pada tahap penyusunan peraturan daerah (perda) yang rencananya akan diberlakukan tahun 2010, hal tersebut merupakan terobosan. Walaupun peraturan ini akan dilaksanakan di Jakarta, akan ada implikasi bagi Kota Bandung.

Pengalaman tinggal di negeri Belanda dan Jepang memberikan gambaran betapa masyarakat di kedua negara tersebut sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan mereka. Kepedulian mereka wujudkan dengan dua cara yang sangat sederhana, yaitu membuang sampah pada tempat sampah sesuai dengan jenis sampah dan memilah sampah berdasarkan jenis sampah sejak di tingkat rumah tangga.

Hal tersebut dilakukan tidak hanya oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Membuang sampah pada tempatnya sesuai dengan jenis sampah dan memilah sampah telah menjadi kebiasaan hidup dan budaya mereka. Namun, penulis memiliki keyakinan bahwa budaya bisa dibentuk atau diciptakan.

Salah satu cara untuk membentuk dan menciptakan budaya adalah dengan mengatur tindakan atau kegiatan agar dilakukan masyarakat melalui peraturan yang di dalamnya memuat detail sanksi dan kompensasi yang akan diberikan untuk setiap tindakan melanggar dan patuh.

Perlu dibentuk

Untuk masyarakat Indonesia, budaya memilah sampah perlu dibentuk. Beberapa hasil penelitian mengenai pengelolaan sampah di Bandung membuktikan bahwa pengelolaan sampah tidak berjalan dengan sukses karena masyarakat tidak memiliki budaya memilah sampah sejak dari rumah.

Atau, apabila ada keluarga yang telah memiliki kesadaran untuk memilah sampah rumah tangga mereka, hal itu tidak dibarengi dengan kesadaran keluarga lain di kota ini. Yang lebih parah, apabila terjadi pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, sampah tersebut kembali dijadikan satu oleh petugas pengambil sampah lingkungan rumah tangga.

Dengan demikian, memilah sampah bukan kegiatan yang didukung sistem pengelolaan sampah yang konsisten. Adanya perda tentang pemilahan sampah akan menjamin konsistensi pengelolaan sampah yang dimulai dari pemilahan sampah. Dengan begitu, penulis sangat mendukung pembuatan perda tersebut dan berpendapat bahwa pembuatan perda tersebut memiliki relevansi untuk Kota Bandung.

Lalu, apa relevansi rencana penyusunan perda itu dengan kondisi Bandung? Pertama, fenomena Bandung sebagai "halaman belakang" Jakarta, tempat orang-orang Jakarta menghabiskan akhir pekan dengan berbagai aktivitas, tentu saja akan membuat Bandung juga menampung sampah hasil aktivitas tersebut.

Akan sangat tidak adil bila orang-orang Jakarta tidak diperbolehkan membuang sampah dan diharuskan memilah sampah di Jakarta. Namun, begitu sampai di Bandung, mereka bebas merdeka membuang sampah sembarang dan tidak memilah sampah. Lalu, apa solusinya? Buat perda yang sama-sama mengatur tentang membuang sampah dan memilah sampah bagi siapa saja yang berada di Kota Bandung.

Peraturan daerah

Kedua, penyusunan perda serupa akan menjadi salah satu alternatif bagi Kota Bandung yang beberapa waktu lalu menghadapi permasalahan pengelolaan sampah. Penyusunan perda serupa tentu saja membutuhkan komitmen dari pemerintah. Sebab, dengan penyusunan perda tersebut, konsekuensinya tidak hanya berupa penerapan sanksi dan kompensasi. Akan tetapi, hal itu juga melibatkan penyediaan sarana fisik (tempat sampah untuk pemilahan sampah), waktu dan dana untuk sosialisasi perda, serta penyadaran masyarakat dan pelatihan untuk aparat pelaksana.

Ambil contoh Belanda. Di sana terdapat jadwal yang teratur serta diketahui setiap masyarakat dan rumah tangga di Belanda untuk membuang sampah yang bisa didaur ulang (kertas, plastik, dan bahkan peralatan rumah tangga, seperti barang elektronik). Jadwalnya adalah setiap hari Senin. Jadi, Minggu malam biasanya tiap rumah tangga sudah menyiapkan sampah jenis tersebut di depan rumah masing-masing.

Di Jepang, misalnya, setiap kantor, sekolah, dan gedung selalu menyiapkan tempat sampah untuk sampah yang dapat dibakar (burnable) dan tidak dapat dibakar (non-burnable). Setiap anggota masyarakat di Jepang secara swadaya membuang sampah rumah tangga, terutama sampah yang dapat didaur ulang, ke tempat pengolahan sampah terdekat. Di kedua negara itu ketidakpatuhan dalam hal membuang sampah berdasarkan jenisnya dan memilah sampah tentu saja diikuti dengan sanksi.

Ketiga, diperlukan kesadaran dari diri kita untuk berpartisipasi aktif dalam pemilahan sampah apabila perda tersebut benar-benar diimplementasikan sebagai produk hukum. Setiap rumah tangga perlu memilah sampah dengan diikuti sistem pemilahan dan pengolahan sampah yang konsisten.

Keempat, sebagai pelengkap pelaksanaan perda tentang pemilahan sampah, pemerintah perlu membantu masyarakat dengan menyediakan alat bor biopori secara gratis sehingga setiap rumah tangga dapat memanfaatkan lubang biopori tersebut sebagai tempat penampungan sampah organik.

Diharapkan dengan kegiatan seperti itu beban pemerintah untuk mengelola sampah akan berkurang karena masyarakat secara swadaya ikut serta dalam pengelolaan sampah organik.

TUTIK RACHMAWATI Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/16592512/memilah.sampah.sejak.dari.rumah

Mampirlah ke Jalur Cijapati di Lintas Selatan

Arus Mudik
Mampirlah ke Jalur Cijapati di Lintas Selatan

Jumat, 18 September 2009


Hari Kamis (17/9), langit mendung bertengger di jalur Cijapati, perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Kondisi jalan yang lengang rupanya merangsang para pengguna jalan yang didominasi sepeda motor untuk memacu kendaraan. Namun, mata akan sulit berkonsentrasi di jalan karena di tepi kiri dan kanan jalan penuh dengan pemandangan elok perbukitan serta hutan bambu.

Jalur sepanjang 18 kilometer yang menghubungkan Kabupaten Bandung dengan Garut ini sudah dikenal pula sebagai jalur alternatif yang kerap digunakan para pemudik untuk mencapai Garut. Bila jalur utama, yaitu jalur Nagreg, tengah disesaki pengguna jalan, pastilah jalur Cijapati menjadi penyelamat.

Untuk mencapai jalur ini bisa dari arah Rancaekek ataupun Cicalengka. Dari Rancaekek, selepas Pasar Dangdeur, pemudik bisa berbelok mengambil arah ke kiri melewati jalan lingkar Majalaya untuk menghindari kemacetan pusat kota Majalaya, kemudian menuju persimpangan Cijapati di Kecamatan Cikancung. Adapun dari pusat kota Cicalengka, pemudik akan melewati jalan kabupaten yang masih setengah badan jalan dibeton hingga mencapai persimpangan Cijapati.

Begitu memasuki jalur Cijapati, pemandangan berbukit segera menyapa. Jalur didominasi lintasan berkelok di samping tebing. Sementara di bawahnya terdapat rimbunnya pohon bambu yang meneduhkan mata.

Aspal jalan relatif dalam keadaan mulus. Meskipun demikian, kendaraan yang melintasi jalur ini sebaiknya berupa kendaraan kecil dengan kondisi mesin prima karena tanjakannya. Selain itu, badan jalan juga hanya cukup untuk dua mobil kecil berpapasan.

Sekeluar dari jalur Cijapati, sampailah di daerah Kadungora, Garut. Artinya, dengan melintasi jalur ini, para pemudik bisa menghindari dua titik kemacetan di jalur Nagreg, seperti perlintasan kereta api Pamuncatan dan Jalancagak. Meskipun mengambil jalan yang lebih jauh, banyak waktu bisa dihemat bila melintasi jalur ini. Hanya cadangan

Kurnia, petugas pencatat di pos pengawasan dan pengendalian Dinas Perhubungan Kabupaten Bandung, menuturkan, selama ini jalur Cijapati hanya digunakan sebagai cadangan serta digunakan oleh pemudik yang biasa bepergian bolak-balik Kabupaten Bandung-Garut.

Menurut Kepala Kepolisian Resor Bandung Ajun Komisaris Besar Imran Yunus, pengalihan ke jalur Cijapati dilakukan bila ekor antrean kendaraan di jalur Nagreg mencapai daerah Parakanmuncang. "Alternatif lain, kendaraan akan dialihkan ke jalur Wado-Tasikmalaya bila jalur Cijapati juga penuh," ungkap Imran.

Jalur Nagreg sendiri sudah berbenah tahun ini, salah satunya dengan pelebaran jalan pada titik perlintasan kereta api dari 7 meter menjadi 14 meter. Dengan demikian, beban lalu lintas bisa dikurangi sehingga kemacetan bisa diurai.

Ditambah dengan pelebaran jalan di sepanjang jalur tanjakan, meski hanya 1 meter, upaya tersebut diperkirakan berdampak positif dalam mengurai kemacetan.

Pada Lebaran 2009 pemudik akan lebih nyaman saat melintasi jalur Nagreg. Akan tetapi, bagi pemudik yang ingin bersantai dan menikmati keindahan alam khas Jawa Barat, tidak ada salahnya mampir ke jalur Cijapati. (Didit Putra Erlangga Rahardjo)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/10585156/mampirlah.ke.jalur.cijapati.di.lintas.selatan

Jelang Libur Lebaran di Water Blaster

Graha Candi Golf
Jelang Libur Lebaran di Water Blaster

Jumat, 18 September 2009

Kawasan permukiman asri nan ekslusif di sisi Semarang atas, Graha Candi Golf, adalah gambaran hunian masa depan yang merangkum kenyamanan jiwa bagi setiap penghuninya. Bersandar di serambinya, raga dan pikiran ditenangkan dengan hijau panorama dan teduh suasana perbukitan yang sulit digantikan keindahannya. Memilih tinggal di sini berarti memberikan kesempatan bagi diri untuk leluasa berileksasi dari rumah sendiri.

Bahkan selain rentetan fasilitas nomor satu yang melengkapi kesempurnaan perumahan ini, seperti lapangan golf 9 holes, driving range, club house, kafe Albatros, dan kolam renang kini Graha Candi Golf makin dikenal berkat kehadiran sebuah komplek wisata air yang diberi nama Water Blaster, dengan telepon 024-8500030. Dibuka sejak pertengahan tahun silam, Water Blaster mampu menjadi magnet bagi warga Semarang dan sekitarnya untuk sejenak meluangkan waktu berpelesir dan bersantai bersama putra putri tercinta. Salah satu alternatif wisata baru di kota atlas ini tak pernah sepi dipadati pengunjung, khususnya saat akhir pekan. Bagi penghuninya sendiri, Water Blaster menjadi potensi yang merupakan nilai tambah investasi properti di Graha Candi Golf.

Dibalut konsep warna warni ceria sebagai bentuk interpretasi keriaan nuansa wisata air dan indahnya dunia anak, Water Blaster adalah tempat yang tepat untuk dikunjungi saat liburan, termasuk libur Lebaran kali ini. Berkunjung ke Water Blaster berarti menikmati berbagai wahana air yang unik dan menantang untuk dijajal, seperti lazy river (sungai buatan) dengan arus yang dapat diarungi dengan ban karet, ember tumpah, seluncur air "speed torpedos", seluncur berkelok "dino blast", dan lainnya.

"Untuk menambah suasana liburan yang lebih seru, acara bermain air juga tambah mengasikkan dengan adanya permainan baru ninja warrior," kata Mei A Banawi STp, Manager Water Blaster di Semarang. Selain ragam kolam renang dan permainan air yang menarik, saat ini sejumlah permainan adu nyali seperti flying fox yang melintasi kolam renang aneka ukuran turut meramaikan area wisata air seluas lebih kurang 4 hektar tersebut.

Buat para orang tua yang setia menanti buah hati tercinta bermain air, tempat rehat yang nyaman berupa kafe dengan aneka menu makanan dan minuman menyegarkan siap menemani. Didesain cantik, kafe dengan fasilitas hotspot ini menjadi pelabuhan yang tepat untuk rileks.

Selama libur Lebaran, hingga tanggal 27 September 2009, Water Blaster siap menyambut kunjungan Anda mulai pukul 08.00 sampai dengan 18.00, kecuali pada hari H Idul Fitri yang mulai buka pukul 11.00. Dengan tiket masuk Rp 60 ribu, ajak seluruh anggota keluarga menikmati liburan dan habiskan hari dengan bermain dan bergembira di Water Blaster. Dimanjakan kenyamanan The Panorama

Menjadi impian banyak kalangan untuk menjadi salah satu bagian dari hunian dengan view menakjubkan ini, Graha Candi Golf yang telah sukses mengembangkan cluster yang lain, maka kini melanjutkan pembangunan di The Panorama cluster.

Seperti diungkapkan oleh Juraemi, Bagian Promosi Graha Candi Golf, bahwa The Panorama masih menghadirkan konsep modern minimalis bagi keluarga muda yang dinamis dan diciptakan di atas lahan yang berkontur perbukitan. Sebagai benefitnya, para penghuni akan puas memandang hamparan hijau bukit dengan gunung Ungaran sebagai background dinaungi udara sejuk yang menyegarkan. Sebuah hal berharga yang makin sulit ditemui di era modern saat ini.

Sesuai namanya, setiap penjuru rumah tinggal diupayakan menemukan sisi keindahan Kota Semarang. Bersinergi dengan alam, menjadi penghuni The Panorama dapat membuka kesempatan yang lebih luas untuk mengagumi ciptaan Tuhan lewat panorama laut, Kota Semarang bawah, sekaligus perbukitan. Memanjakan panca indera adalah salah satu bentuk rasa syukur kita kepada Sang Pencipta. Jadilah bagian dari The Panorama untuk mewujudkannya. Bagi Anda yang berminat tahu lebih dalam soal Graha Panorama dan cluster-cluster lain di Graha Candi Golf, dapat menghubungi bagian pemasaran di nomor telepon (024) 8501000. CRL

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/10583316/jelang.libur.lebaran.di.water.blaster.

Nasi Goreng Bakar Mr Puencheng Semarang

Sajian Tlogosari
Nasi Goreng Bakar Mr Puencheng Semarang

Jumat, 18 September 2009

Menyantap nasi goreng, yang terbayang adalah minyak mengkilat yang melumuri nasi. Namun, berbeda dengan nasi goreng bakar yang dibakar dengan oksigen bertekanan tinggi. Hidangan tersebut sirna karena tidak ada minyak mengkilat di nasi goreng yang tersaji. Kekhawatiran akan lemak tinggi pun lenyap.

Penampilan Nasi Goreng Bakar Bertekanan Mr Puencheng yang berlokasi di Jalan Parangkusumo Raya Nomor 40, Tlogosari, Kota Semarang, itu sekilas sama seperti nasi goreng pada umumnya.

Bedanya, tidak ada minyak yang melekat di butiran nasi. Jadi, ketika menelan, sensasi yang muncul adalah rasa kering pada nasi.

Proses pembuatannya, pertama nasi digoreng dengan minyak rendah kolesterol. Itu pun dalam takaran sangat sedikit. Nasi kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu, irisan daun bawang, dan kecap manis.

Setelah itu, nasi goreng dibakar dengan alat bernama blender api. Dengan bahan bakar, api dan oksigen bertekanan tinggi, permukaan nasi goreng dibakar selama 30 detik untuk empat porsi nasi goreng.

Waktu pembakaran, menurut pemilik gerai Nasi Goreng Bakar Mr Puencheng, M Gunawan Wibisono, tidak boleh terlalu singkat dan terlalu lama. Jika terlalu lama, nasi goreng akan gosong dan terasa pahit.

Rasa nasi goreng bakar ini pun lebih gurih. Bumbunya terdiri dari bawang merah, bawang putih, merica, dan sari tape.

"Khas masakan China," ungkap M Gunawan Wibisono.

Nasi goreng terasa lengkap dengan sajian acar ketimun dan acar irisan cabai rawit merah. Keduanya memberi sensasi segar. Bagi yang menyukai rasa pedas, acar irisan cabai rawit merah sangat membangkitkan selera makan.

Pengunjung dapat memilih aneka varian nasi goreng. Di tempat itu tersedia juga nasi goreng ayam, nasi goreng telur, dan nasi goreng kambing. Ada pula mi goreng dan kwetiau goreng yang diproses dengan cara serupa dengan nasi goreng bakar. Harga per porsi Rp 7.000-Rp 10.000.

"Awalnya, saya adalah penyuka nasi goreng, tetapi memiliki masalah dengan kolesterol tinggi. Lalu saya berpikir, bagaimana membuat nasi goreng yang non kolesterol. Akhirnya, saya menemukan cara itu," ujar Gunawan.

Gunawan sempat mencoba membakar nasi goreng dengan arang, tetapi hasilnya gosong. Dia lalu mencoba berbagai upaya hingga menemukan cara pembakaran dengan oksigen bertekanan tinggi pada tahun 2007. Untuk menikmati nasi goreng, kedai ini menyediakan aneka jus buah nan segar.

Kini, gerai Mr Puencheng ada di berbagai kota. Namun, karena usahanya belum berusia lima tahun, Gunawan baru membuka bussiness opportunity (semacam waralaba) kepada setiap orang yang berminat membuka gerai serupa di kotanya. Jika usahanya sudah berusia lebih dari lima tahun, baru boleh memberikan lisensi waralaba. (Amanda Putri Nugrahanti)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/15185491/nasi.goreng.bakar.mr.puencheng.semarang.

9 Kota Terpilih Ekspose pada Hari Habitat

Kamis, 17 September 2009

Jakarta, Kompas - Sembilan kota terpilih untuk ekspose pada Hari Habitat Dunia 2009 yang bertempat di Palembang, 3-5 Oktober 2009, terkait komitmen untuk membebaskan wilayah masing-masing dari kawasan kumuh tahun 2020. Komitmen yang diwujudkan antara lain merelokasi warga dan meningkatkan kualitas lingkungan tempat tinggal di kawasan kumuh.

”Kreativitas dalam menanggulangi kawasan kumuh antara satu kota dan kota lainnya itu berbeda. Ini yang menarik untuk dikomunikasikan pada Hari Habitat nanti,” kata Direktur Jenderal Cipta Karya pada Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono, Rabu (16/9) di Jakarta.

Menurut Budi, forum kota merupakan bagian penting untuk menumbuhkan kreativitas penanggulangan kawasan kumuh. Daya kreativitas yang lebih manusiawi itu untuk membenahi model penggusuran tanpa solusi yang selama ini kerap terjadi di kota-kota besar, juga di Jakarta.

Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Antonius Budiono memaparkan, sembilan kota yang terpilih itu adalah Palembang, Bontang, Balikpapan, Tarakan, Surabaya, Blitar, Surakarta, Yogyakarta, dan Pekalongan. Beberapa hal yang akan diekspose antara lain metode penanggulangan kawasan kumuh yang berbeda satu sama lain.

Peringatan Hari Habitat Dunia di Indonesia dimulai tahun 1986. Tahun 2008 peringatan Hari Habitat Dunia diadakan di Denpasar dan tahun 2007 di Surakarta.

Penetapan PBB

Hari Habitat Dunia ditetapkan melalui Sidang Umum PBB tahun 1985. Hari yang ditetapkan sebagai Hari Habitat Dunia adalah setiap hari Senin pada minggu pertama bulan Oktober. Peringatan Hari Habitat untuk mengingatkan dunia akan tanggung jawab memenuhi hak atas hunian yang layak.

Selama ini tema peringatan Hari Habitat Dunia ditetapkan PBB, umumnya terkait perkotaan, karena perkotaan menjadi target habitat utama penduduk di dunia. Tahun 2009, peringatan itu bertema ”Merencanakan Masa Depan Perkotaan Kita”.

Menurut Budi, institusinya sejak tahun 2003 hingga sekarang mewujudkan komitmen menanggulangi masalah perkotaan dengan mendirikan perumahan susun sederhana sewa hingga 19.244 unit. Perumahan sewa ini ditujukan bagi warga permukiman kumuh yang memiliki penghasilan di bawah Rp 2,5 juta per bulan. Akhir-akhir ini pembangunannya tersendat. (NAW)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/04475315/9.kota.terpilih.ekspose.pada.hari.habitat

Rumah Tuhan di Atas Para Dewa

Kamis, 17 September 2009 | 04:51 WIB

Dari kejauhan, bangunan ini tidak tampak seperti sebuah masjid. Layaknya sebuah masjid di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh), kubahnya berbentuk bulat atau dikenal dengan sebutan kubah bawang. Namun, hal itu tidak tampak pada keseluruhan bangunan Masjid Indrapuri.

Masjid yang terletak di Kecamatan Indrapuri, sekitar 30 menit ke arah pantai timur Aceh, tepatnya ke arah Kota Sigli, sama sekali tidak memiliki ciri khas bangunan masjid Aceh pada umumnya.

Hampir seluruh masjid di wilayah Aceh yang dibangun saat ini memiliki bentuk bangunan yang sangat mirip dengan Masjid Raya Baiturrahman, yang menjadi ikon Aceh.

Masjid ini dibangun di atas areal seluar 33.875 meter, diyakini dibangun di atas bangunan benteng pertahanan saat pendudukan Portugis dan Belanda di Aceh. Bangunan masjid yang mayoritas berkonstruksi kayu, dibangun di undakan ke empat benteng pertahanan itu.

Tengku Syafei Zamzami (64), imam masjid tersebut, ditemui di Indrapuri, akhir pekan lalu, mengatakan, banyak sejarawan yakin empat undakan di bawah undakan tertinggi yang sekarang digunakan sebagai masjid merupakan sebuah candi Hindu. Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan relief yang ada di sekeliling bangunan.

Bahkan, salah satu sejarawan Aceh, Ali Hasjmy, yang juga merupakan mantan Gubernur Aceh, meyakini bahwa di bawah bangunan yang sekarang ini berdiri masih ada undakan-undakan lagi yang lebih luas.

Catatan sejarah yang tertuang dalam brosur Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menuliskan, fondasi masjid yang berbentuk segi empat bujur sangkar ini memiliki luas 4.447 meter persegi.

Pembatas

Bangunan berundak empat ini memiliki dinding keliling yang sekaligus menjadi pembatas antarhalaman.

Kaki dan puncak dinding dilengkapi dengan oyif atau bidang sisi genta.

Undakan keempat atau yang paling atas, yang sekarang digunakan sebagai masjid, diduga merupakan tempat kegiatan ritual umat Hindu.

Ornamen asli penghias bangunan, yang diduga berasal dari masyarakat penganut agama Hindu, telah ditutup dengan plester tebal.

Masjid yang diperkirakan dibangun pada masa kesultanan Iskandar Muda (1607-1636) ini dibangun dengan 36 umpak yang menyangga tiang kayu berdiameter 0,28 meter. Empat di antaranya merupakan saka guru atau tiang utama yang berbentuk segi delapan. Adapun 32 tiang lainnya berfungsi sebagai penyangga kerangka atap yang berbentuk tumpang.

Atap yang berbentuk tumpang inilah yang membedakan antara masjid di Aceh pada umumnya dan masjid ini. Berdasarkan catatan sejarah, hanya empat masjid di wilayah Aceh yang memiliki bentuk kubah yang sama dengan Masjid Indrapuri, yaitu Masjid Raya Baiturahman sebelum dibakar tentara Belanda (awal pendudukannya di Aceh), Masjid Indrapurwa, dan Masjid Peulanggahan.

Saat ini, bangunan yang masih memiliki kubah tumpang hanya tinggal dua, yaitu Masjid Indrapuri dan Masjid di Peulanggahan.

Bentuk kubah seperti ini lazim ditemui di Pulau Jawa, seperti Cirebon, Demak, Banten dan Kudus. Bahkan, beberapa buah masjid di Sumatera Barat juga memiliki bentuk kubah yang hampir sama dengan kubah Masjid Indrapuri.

Khawatir

Tengku Syafei mengakui bahwa saat pihak pengurus masjid membangun semacam kanopi atau pelindung di depan pintu masuk masjid yang mengha- dap ke timur, warga sekitar sempat menyatakan ketidaksukaannya.

”Mereka khawatir kami akan menghidupkan budaya Hindu lagi di masjid ini,” katanya sambil tersenyum.

Syafei, kepada para warga, menjelaskan, tahun 1940-an masjid ini sudah digunakan oleh salah satu pemuka Islam di Aceh, yaitu Abu Indrapuri (H Ahmad Hasballah) untuk memurnikan ajaran Islam.

Abu Indrapuri, kata Syafei, mendirikan dayah atau pesantren tradisional di sekeliling bangunan masjid tersebut. Nama Dayah Indrapuri pun sudah terkenal ke seluruh Nusantara, termasuk juga Malaysia dan sekitarnya.

”Bahkan, murid Abu Indrapuri ada yang berasal dari Ternate. Kalau ada yang mengatakan kami akan menghidupkan kembali budaya Hindu, itu tidak benar. Tempat ini adalah salah satu tempat memurnikan ajaran Islam,” katanya.

Jarang

Sayangnya, di saat bulan Ramadhan seperti sekarang ini, kegiatan keagamaan sangat jarang dilaksanakan di masjid ini.

Menurut Mursalin, salah satu warga, hanya kegiatan wajib, seperti shalat lima waktu, yang diadakan di sini.

Mursalin menuturkan, sekitar 10 tahun lalu, peralatan seperti kentungan masih sering digunakan untuk membangunkan warga agar sahur atau sebagai penanda waktu berbuka bagi yang berpuasa.

Sekarang, karena sudah dimakan usia, kentungan itu sama sekali sudah tidak bisa digunakan lagi. (MHD)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/04514358/rumah.tuhan.di.atas.para.dewa

Mencari Hening di Ujung Ramadhan

Kamis, 17 September 2009

Rabu (16/9) pukul 01.30, Nessa berwudu di lantai dasar Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Di masjid megah yang dirancang arsitek Friedrich Silaban itu, Nessa berniat shalat malam, mengaji, dan berzikir.

”Tadi saya habis dari belakang, makanya wudu lagi. Sebenarnya ingin juga itikaf sepanjang 10 hari terakhir puasa seperti disunahkan. Tetapi, saya masih harus menyelesaikan tugas kampus. Jadi, ambil malam hari saja,” ujar mahasiswa asal Bima, Nusa Tenggara Barat, ini.

Sudah tiga tahun terakhir ia rutin ke Istiqlal untuk shalat malam pada bulan Ramadhan. ”Awalnya, saya datang karena janji pahala bagi mereka yang beribadah di 10 hari terakhir Ramadhan. Sekarang, saya ke sini karena ingin mencari ketenangan. Zikir, mengaji, dan shalat malam dengan khusyuk membuat saya tenang. Soal pahala, itu urusan nanti sajalah,” ungkapnya.

Merdeka

Sebelum ke Istiqlal, ia tidur dulu di tempat kosnya di kawasan Cawang. Tengah malam ia ke masjid utama itu. ”Ibadah paling enak itu di tempat yang benar-benar tak ada orang yang dikenal. Tak ada gangguan untuk bertegur sapa. Bukan karena sombong, tapi karena ingin menyediakan waktu untuk diri sendiri dulu,” ujarnya.

Pengunjung Istiqlal lain malam itu, Zulham, datang bersama istri, anak, dan tiga cucunya. Rombongan itu datang sekitar pukul 01.40 saat shalat malam berjemaah sudah dimulai.

Ia sengaja mengajak cucu yang masih berumur balita agar terbiasa beribadah sejak kecil. Memang, saat ini para anak balita itu lebih sibuk bermain di masjid. ”Kadang, mereka menirukan gerakan orang berzikir setelah itu main lagi. Tidak apa-apa, namanya juga masih anak-anak,” ujarnya.

Dengan zikir, mengaji, shalat, dan berdiam diri untuk merenung di masjid, yang namanya berarti merdeka itu, mereka mengharapkan kemerdekaan dari berbagai dosa dan sifat buruk pada hari kemenangan nanti. (KRIS R MADA)

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/0318173/mencari.hening.di.ujung.ramadhan

Mudik Kultural dan Spiritual

Kamis, 17 September 2009 | 15:27 WIB

Oleh Sukron Ma'mun

Satu pemandangan yang tampaknya tidak akan hilang pada setiap menjelang Lebaran adalah tradisi mudik. Mudik memang telah menjadi tradisi yang berlangsung lama dalam kultur masyarakat Indonesia pada setiap tahunnya. Para pemudik adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, bahkan negara lain, untuk bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sabahat.

Tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat kita amati dalam tradisi mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual- kultural. Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur.

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban. Karena itu muncullah tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi berziarah inilah yang kemudian berdialektika dengan kultur masyarakat yang kemudian melahirkan tradisi mudik.

Kedua, mudik memiliki dimensi psikologis. Pulang ke kampung halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya kehidupan kota, bisingnya kota, dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para migran ini mengalami stres di tempat kerja, sementara keluarga yang menjadi tempat berbagi rasa jauh darinya.

Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat migran kota.

Ketiga, dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan. Mudik menjadi salah satu media untuk mengomunikasikan cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Cerita sukses hidup di rantau biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran di tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi media penyalur watak konsumeris dan hedonis.

Menuju spiritual

Dalam catatan Umar Kayam, mudik sejatinya tradisi lama yang pernah menghilang. Sejak Islam datang mulai terkikisnya budaya syirik, ziarah menemukan momentum saat Lebaran. Apalagi kultur Jawa yang kemudian diterima oleh kalangan Islam tradisional menghasilkan akulturasi budaya yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh kalangan tradisional dengan disisipi ajaran agama. Mudik pun menjadi salah satu tradisi spiritual bagi masyarakat untuk melakukan ziarah ke makam leluhur.

Sayangnya tradisi mudik yang demikian kemudian luntur lantaran niat mudik hanya untuk sekadar kelangenan (kesenangan), menghamburkan uang, menunjukkan sikap konsumeris dan hedonis. Akibatnya, mudik selalu menjadi persoalan, terutama terkait dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan, percaloan, dan kenyamanan transportasi.

Mudik dalam arti spiritual jarang dilakukan karena ia tidak banyak memberi kepuasan bagi para pemudik. Padahal tradisi mudik yang selama ini terjadi, jika dikaitkan dengan tradisi Lebaran, jauh dari spirit yang mestinya dibangun. Hal ini merupakan sebuah kewajaran karena nilai-nilai spiritual lebih bersifat abstrak dan tidak dapat dirasakan oleh orang lain.

Said Aqiel Siradj (2006) menegaskan bahwa makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai spirit spiritual-vertikal. Dalam arti orang-orang yang merayakan harus kembali pada kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan penuh.

Spiritual-vertikal manusia ditempuh dengan ibadah dan akan sempurna jika dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal. Silaturahim menjadi wujud konkret dalam hal ini. Mudik seharusnya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur dan menyambut tali silaturahim dengan keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat. Bukan untuk kepentingan prestise sosial ataupun kepentingan material lainnya.

Sukron Ma'mun Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan, Alumnus S2 Sosiologi Yogyakarta

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/15271021/mudik.kultural.dan.spiritual.

Mitos Organik dalam Era Pertanian Modern

Jumat, 18 September 2009

Oleh Didiek Hadjar Goenadi


KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pekerja mengemas pupuk cair organik dalam botol 1 liter di pabrik PT Sang Hyang Seri (Persero) di Dusun Lusah, Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Kapasitas produksi di pabrik ini mencapai 65.000 liter per bulan.


Impian petani dan pendukung kaum tani di dalam melepaskan diri dari jeratan teknologi kapitalis tampak akan terpenuhi dengan mulai maraknya praktik pertanian dengan input produksi organik.

Di tengah optimisme dan semangat mewujudkan impian tersebut, kekhawatiran muncul bahwa mimpi tersebut akan tetap menjadi mimpi ketika terlalu besar harapan, yang kemudian memunculkan mitos.

Tanpa perhatian yang penuh, mitos ini akan menisbikan program bantuan pemerintah kepada petani, khususnya ketika pasar tidak melihat upaya ini sesuatu yang pantas mendapat premi.

Departemen Pertanian Amerika Serikat pada 1997 mendefinisikan pertanian organik sebagai sebuah sistem manajemen produksi berbasis agroekologi yang memacu dan mendorong keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.

Praktiknya adalah penggunaan input luar-lahan minimal dan upaya memperkaya, mempertahankan, serta meningkatkan keharmonisan ekologi. Menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), tujuan utamanya adalah mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan antara kehidupan dalam tanah, hewan, dan manusia.

Klaim atau doktrin yang banyak dianut oleh pelaku paham pertanian organik adalah bahwa organik lebih sehat daripada input kimia seolah ingin memanfaatkan momentum prevalensi pasar yang menuntut bahan makanan yang tidak mengandung unsur-unsur pemicu penyakit serius.

Dalam beberapa tahun terakhir pikiran konsumen secara sukarela dibawa oleh doktrin tersebut walaupun ada banyak kejanggalan dalam logika berpikir para penganut aliran pertanian organik.

Bukti sukses

Sebuah penelitian jangka panjang di Universitas Cornell memberikan gambaran menakjubkan tentang hasil pengamatan selama 22 tahun. Dibuktikan bahwa secara keseluruhan produksi jagung dan kedelai dari perlakuan pertanian organik relatif sama dengan pertanian konvensional yang menggunakan pupuk kimia buatan.

Keuntungannya adalah bahwa pertanian organik menghemat konsumsi energi (bahan bakar minyak) sebesar 30 persen, menahan air lebih lama di musim kering, dan tidak memerlukan pestisida. Namun, hasil yang diperoleh pada empat tahun pertama produksinya 33 persen lebih rendah daripada perlakuan konvensional.

Setelah bahan organik terkumpul di dalam tanah, sejak tahun kelima produksinya mulai sama atau lebih tinggi daripada konvensional, terutama karena lebih tahan selama musim kering.

Dilaporkan pula bahwa pertanian organik mampu menyerap dan menahan karbon (C) sehingga sangat bermanfaat dalam mitigasi pemanasan global. Kandungan bahan organik tanah naik 15-28 persen yang setara dengan 1.500 kilogram CO dari udara.

Walaupun biaya produksi pada sistem pertanian organik 15 persen lebih tinggi daripada konvensional, dengan harga yang cukup baik pada tanaman sereal kenaikan ini tidak terlalu menjadi masalah. Sebaliknya, sistem pertanian organik tidak mampu memberikan keuntungan untuk tanaman anggur, apel, ceri, dan umbi-umbian.

Beberapa keberhasilan sejenis juga dilaporkan di Afrika, India, dan China. Namun, hasil-hasil tersebut masih menimbulkan pro dan kontra, terutama dari para ahli ilmu tanah yang tidak bisa menerima alasan bahwa hal tersebut semata-mata akibat organik versus kimia.

Mitos pertanian organik

Keberhasilan input organik dengan menggeser peran input kimia sebagai sebuah monumen inovasi dari Revolusi Hijau 60 tahun yang lalu semula dipandang sebelah mata oleh para ilmuwan ilmu tanah yang memahami dengan baik hubungan tanah dengan tanaman.

Namun, ketika gejala yang berkembang, khususnya di Amerika Serikat, makin mengkhawatirkan, beberapa pendapat mulai bermunculan. Salah satunya adalah yang diuraikan oleh Throckmorton (2007), seorang dekan dari Kansas State College.

Keberatannya terhadap doktrin pertanian organik adalah bahwa tidak mungkin peran pupuk kimia digantikan sepenuhnya oleh pupuk organik. Pertama, jika hal itu mungkin, dunia akan kekurangan biomassa untuk produksi pupuk organik karena dosisnya luar biasa besarnya.

Kedua, tanaman tidak hanya ditentukan oleh humus saja, tetapi oleh faktor-faktor lain seperti bahan organik aktif, nutrisi mineral tersedia, aktivitas mikroba tanah, aktivitas kimia dalam larutan tanah, dan kondisi fisik tanah.

Bahan organik tanah memang sering disebut sebagai ”nyawa dari tanah” sebagai ekspresi dari perannya mendukung aktivitas mikroba tanah. Peran lain dari bahan ini memang diakui penting, tetapi bukan satu-satunya, dalam pelarutan hara, pembenah tanah, dan kapasitas menahan air.

Fakta lain adalah bahwa bahan organik mengandung nutrisi tanaman sangat kecil. Klaim bahwa nutrisi asal bahan organik (kompos, pupuk organik) lebih ”alami” dibandingkan asal pupuk kimia sangat tidak masuk akal, apalagi dihubungkan dengan kesehatan manusia.

Bukti empiris menunjukkan bahwa pada tanah organik (kadar bahan organik sangat tinggi) percobaan gandum, kentang, dan kubis di Amerika Serikat pada yang dipupuk

kimia buatan mencapai 5-54 kali lebih besar daripada yang tidak dipupuk kimia. Satu bukti lain bahwa organik bukan satu-satunya unsur utama dalam produksi tanaman adalah pada sistem hidroponik.

Kebijakan pemerintah, seperti Go Organic 2010, penerbitan SNI Sistem Pangan Organik (01-6729-2002), dan subsidi pupuk organik merupakan langkah-langkah konkret yang perlu diawasi implementasinya. Di samping itu, pertimbangan yang mendalam perlu dilakukan dengan memerhatikan dampak krisis keuangan 2008.

Daya beli masyarakat menurun, seperti yang dilaporkan di Inggris, berdampak stagnasi pada pertumbuhan produk pertanian organik pada tingkat 2 persen. Konsumen yang mengutamakan rupa daripada rasa juga tidak mudah berubah ke produk organik.

Di sisi lain, kemampuan produksi input organik untuk menopang produktivitas pangan yang dibutuhkan jauh dari memadai akibat keterbatasan dan terpencarnya bahan baku. Untuk itu, mitos-mitos yang terkait dengan produk organik harus dihapus dan diberikan pemahaman yang benar kepada petani.

Kombinasi optimal antara input anorganik dan organik akan mampu memenuhi persyaratan berbagai pihak, baik teknis, ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan konsumen.

Didiek Hadjar Goenadi Anggota Bidang Agribisnis- Komite Penanaman Modal, BKPM, dan Ketua Umun Asosiasi Inventor Indonesia

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/02540631/mitos.organik.dalam.era.pertanian.modern

Cinta dan Air Mata di Jantung Kalimantan

Kamis, 17 September 2009
Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso


...hutan yang luas

sungai yang deras

menyenangkan

udara segar

senyuman manis

ingin ku bisa lebih lama di Long Alango...


Itulah penggalan lirik lagu ”Long Alango” ciptaan spontan Agustinus Gusti Nugroho atau Nugie saat penyambutan di Balai Adat Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, pertengahan Mei lalu.

Adik penyanyi Katon Bagaskara ini memang banyak membuat lagu tentang alam dan dipercaya menjadi duta kehormatan WWF Indonesia. Saat menghibur 200 warga, Nugie mengaku jatuh cinta dengan kehidupan di Bahau Hulu yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur.

”Hutan tropisnya seperti karpet hijau yang tebal dan tiada habisnya dilihat dari pesawat,” kata Nugie. Ia berkali-kali memuji lezatnya makanan, pedasnya sambal, kerasnya arak, tampan dan jelitanya serta keramahan warga.

Bahau Hulu berada di hulu Sungai Bahau. Di antara kecamatan berpenduduk 1.500 jiwa ini dan Sarawak dibatasi Pegunungan Belayan-Kaba, tempat mata air sungai-sungai utama Kaltim bagian utara seperti Kayan, Sesayap, dan Sembakung.

Bahau Hulu terdiri dari enam desa, yakni Long Uli, Long Tebulo, Long Alango, Long Kemuat, Long Berini, dan Apau Ping. Warganya keturunan orang (Dayak) Kenyah yang bermukim di tepi Sungai Bahau sejak 350 tahun lalu. Dalam bahasa setempat, long ialah sungai dan apau ialah perbukitan.

Bahau Hulu bagian dari Taman Nasional (TN) Kayan Mentarang yang ditunjuk Menteri Kehutanan pada 1996 seluas 1.360.500 hektar. Hutannya mengandung separuh dari 15.000 jenis tumbuhan Kalimantan, di mana 6.000 jenis di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik).

Di sana hidup 150 jenis mamalia (18 jenis endemik) atau lebih separuh dari 228 mamalia Kalimantan. Selain itu, kalangan peneliti mengidentifikasi 310 jenis burung (28 endemik tetapi terancam punah) atau hampir mendekati 361 jenis burung Kalimantan.

Semua kekayaan alam itu bisa membuat siapa pun jatuh cinta. Tidak mengherankan ketika banyak kalangan berharap keberagaman hayatinya harus dilestarikan.


KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Rumah peladang di Taman Nasional Kayan Mentarang di tepi Sungai Bahau, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, pertengahan Mei. Sekitar 21.000 warga memanfaatkan hasil hutan dan berladang di taman nasional yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur, itu.


Penerbangan terbatas

Meskipun penuh pesona, kehidupan di sana sulit dijangkau.

Long Alango saja di Bahau Hulu yang punya lapangan terbang, tetapi minim fasilitas. Landas pacu 500 meter berupa tanah berumput. Ada dua rumah panggung dari kayu di tepi landasan. Satu untuk ruang tunggu penumpang, satu lagi untuk petugas dengan radio panggil dan stok bahan bakar pesawat (avgas).

Lapangan bisa dicapai dengan berjalan kaki sekitar 40 menit dari desa. Cuma pesawat berkapasitas maksimal 290 kilogram atau berpenumpang empat orang yang bisa mendarat.

Hanya Mission Aviation Fellowship (MAF) yang rutin terbang ke Long Alango. Pesawat jenis Cessna yang mirip capung milik maskapai misionaris Kristen itu mengutamakan mengangkut orang sakit dan obat-obatan.

Penerbangan seminggu sekali selama 50 menit dari Bandar Udara Juwata, Kota Tarakan. Namun, ketika cuaca buruk, penerbangan batal. Nekat terbang berarti bunuh diri.

Staf WWF Indonesia, Malinau Arman Anang, mengatakan, tarif sewa pesawat sekali terbang Rp 6 juta sampai Rp 7 juta. Untuk itu, tiga penumpang harus merogoh kocek masing-masing minimal Rp 2 juta.

Mencapai kawasan lewat sungai amat menyiksa. Dari Samarinda, ibu kota Kaltim, perlu tiga hari mencapai Long Alango dengan biaya Rp 2 juta sampai Rp 4 juta.

Pertama, menuju ke Balikpapan sejauh 115 kilometer lewat darat selama dua sampai tiga jam. Kedua, dari Balikpapan ke Tarakan dengan pesawat Boeing atau Airbus.

Karena pesawat MAF penuh, perjalanan dilanjutkan lewat Malinau dengan perahu cepat selama tiga jam. Itu pun harus menginap karena tiba kemalaman.

Perjalanan dilanjutkan esok dengan mobil gardan ganda ke Desa Long Lejuh, Kabupaten Bulungan. Perjalanan empat jam itu bikin muntah dan pegal-pegal karena jalan rusak.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan perahu motor ke Kecamatan Pujungan selama delapan jam menyusuri Sungai Kayan dan Sungai Bahau. Itu pun harus dengan menginap di bantaran sungai penuh bebatuan karena kemalaman. Penumpang pun bolak-balik turun dan berjalan meniti tepi sungai karena perahu harus cukup ringan agar bisa melewati jeram-jeram.

Perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil atau ketinting dari Pujungan ke Long Alango selama lima jam dalam terpaan hujan deras dan guncangan jeram-jeram yang membahayakan jiwa. Ketinting bermesin maksimal 16 daya kuda cuma bisa memuat tiga orang yang satu di antaranya juru mesin sekaligus juru batu.

Pengharapan

Hidup di pedalaman mungkin tidak nyaman sebab selalu berhadapan dengan bahaya dan segala keterbatasan. Harga kebutuhan pokok mahal, seperti bahan bakar minyak Rp 20.000 per liter dan gula Rp 15.000 per kilogram.

Tidaklah muluk harapan warga agar dibangun sarana kesehatan, pendidikan, dan telekomunikasi memadai di setiap desa. ”Lebih baik di Long Alango bisa didarati pesawat lebih besar, bah,” kata Camat Bahau Hulu Unya Bawan. Sudah disiapkan lahan guna pembangunan landas pacu 1.200 meter sehingga bisa didarati pesawat berkapasitas 40 penumpang atau berton-ton barang.

Bila pembangunan jaringan jalan bukan pilihan demi kelestarian hutan, maka sebaiknya dibangun lapangan terbang di setiap desa. ”Kalau tidak ada pesawat, bagaimana bisa menjangkau rumah sakit terdekat dengan cepat, bah,” kata Ruben, warga Long Alango.

Dari artikel: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03013214/cinta.dan.air.mata.di.jantung.kalimantan

Menjaga Taman Nasional di Beranda Negara

Kamis, 17 September 2009

Jantung amat penting bagi manusia. Untuk itu, dalam perspektif lingkungan, ”jantung ekosistem” pun vital bagi keberlangsungan suatu kawasan sehingga patut dijaga.

Indonesia, Malaysia, dan Brunei punya Jantung Kalimantan (Heart of Borneo) berupa hutan tropis di daratan tinggi tengah pulau di pedalaman sekaligus kawasan perbatasan antardaerah dan antarnegara.

Jantung Kalimantan ialah komitmen menjaga 22 juta hektar hutan tropis yang dideklarasikan ketiga negara pada Februari 2007. Indonesia menjaga 12,6 juta hektar dengan 6,1 juta hektar di Kalimantan Timur, 4,1 juta hektar di Kalimantan Barat, dan 2,4 juta hektar di Kalimantan Tengah.

Taman Nasional (TN) Kayan Mentarang di Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan, Kaltim, ialah salah satu Jantung Kalimantan. Kawasannya membentang dari timur laut ke barat laut pada Pegunungan Belayan-Kaba yang memisahkan Kaltim dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur.

Kayan Mentarang pada 1980 ialah cagar alam seluas 1,6 juta hektar sesuai penunjukan Menteri Pertanian. Namun, pada 1996, Menteri Kehutanan mengubah statusnya menjadi taman nasional dengan keliling 1.058 kilometer, termasuk 448 kilometer batas antarnegara.

Di sana tempat mata air sungai-sungai utama di Kaltim bagian utara seperti Kayan, Sesayap, dan Sembakung. Di dalam dan dekat kawasan bermukim sekitar 25.000 jiwa orang keturunan (Dayak) Kenyah, Kayan, Punan, dan Lun Daye. Mereka mampu hidup selaras dengan alam berbekal pengetahuan arif sejak bermukim 350 tahun lalu.



KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Warga Desa Long Berini, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, menunggu rombongan yang akan diantar ke desa tersebut, pertengahan Mei. Mayoritas warga hidup dari berladang dan memanfaatkan hasil hutan, seperti rotan dan gaharu, turun-temurun dari hutan taman nasional. Mereka termasuk dalam sekitar 21.000 warga yang hidup di taman nasional.


Kearifan

Kalangan warga Kecamatan Bahau Hulu, Malinau, punya hukum adat dan pengetahuan tradisional yang mampu membuat keberagaman hayati TN Kayan Mentarang lestari. Enam desa, yakni Long Uli, Long Tebulo, Long Alango, Long Kemuat, Long Berini, dan Apau Ping punya hutan adat atau tanah ulen.

”Hasil hutan diambil terbatas cuma untuk acara dan sarana desa, bah,” kata Camat Bahau Hulu Unya Bawan di Long Alango, Kamis (20/5).

Warga berburu binatang dan mengambil tumbuhan, lanjut Unya Bawan, untuk makanan acara desa. Beberapa batang pohon boleh ditebang guna membangun fasilitas umum. ”Kebutuhan sehari-hari cukup dari ladang dan membeli, bah,” katanya.

Ruben, warga Long Alango, mengatakan, kawasan Lalut Birai yang menjadi stasiun penelitian hutan tropis termasuk dalam tanah ulen desa. ”Selain warga kami, yang ambil hasil hutan itu kena denda adat, bah,” katanya.

Staf WWF Indonesia, Malinau Arman Anang, mengatakan, Lalut Birai dibangun pada 1994. ”Karena kebaikan warga, kami dibolehkan membangun stasiun Lalut Birai yang kini dikelola swadaya oleh warga,” katanya.

Kearifan lainnya, warga Apau Ping di paling hulu Sungai Bahau, rutin membakar padang ilalang Long Tua guna menumbuhkan ilalang muda sebagai pakan banteng (Bos javanicus lowi).

Saluq Lawing, warga Long Berini, mengatakan, sebagai keturunan orang Kenyah, mereka dilarang berburu binatang secara berlebihan untuk dikonsumsi, seperti babi dan ikan.

Kekayaan

Kalimantan seluas 746.405 kilometer persegi (km) ialah pulau terbesar ketiga di dunia menurut The Ecology of Kalimantan, 1996. Terbesar ialah Greenland (2.175.600 km), Denmark. Urutan kedua ialah New Guinea, termasuk Papua dan Papua Barat di Indonesia (808.510 km).

Kayan Mentarang mengandung lebih dari separuh kekayaan hayati Borneo yang ditaksir memiliki 15.000 jenis tumbuhan. Yang 6.000 jenis di antaranya tidak ditemukan di tempat lain (endemik).

Di sana terdapat 150 jenis mamalia (18 jenis endemik) atau separuh lebih dari 228 mamalia, 310 jenis burung (28 endemik yang terancam punah) atau mendekati 361 spesies burung dan 30 jenis binatang amfibi Kalimantan.

Sejumlah mamalia atau satwa menyusui termasuk langka dan terancam punah antara lain macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), dan lutung dahi putih (Presbytis frontata frontata). Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) diyakini pernah hidup, tetapi punah akibat perburuan pada 1950. Namun, keberadaan satwa itu terus dilaporkan hingga kini oleh warga yang mengaku melihat fisik atau jejak badak.

”Kekayaan hayati yang tinggi itu harus dilestarikan sehingga taman nasional akan dikelola secara kolaboratif bersama rakyat,” kata Pelaksana Tugas Kepala Balai TN Kayan Mentarang Boedi Isnaini. (BRO)

Artikel dari:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/02595277/menjaga.taman.nasional.di.beranda.negara

Jejak Mataram yang Terlupakan

Kamis, 17 September 2009

Oleh M Burhanudin

Panas sinar matahari menerpa deretan Pasar Petanahan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Senin (7/9) siang, itu. Di antara deretan toko kelontong dan pasar swalayan mini terselip bangunan toko-toko tua, yang seolah bercerita tentang jejak masa lalu tempat ini.

Petanahan terletak di jalur alternatif lintas selatan- selatan Jawa Tengah. Melalui jalur ini, pemudik bisa menghindari kemacetan akibat pelintasan KA dan sempitnya jalan di jalur utama selatan.

Bus-bus jarak jauh jurusan Jakarta-Yogyakarta biasa menggunakan jalur ini untuk menghindari antrean panjang kendaraan di jalur Kebumen-Kutoarjo.

Dari Petanahan, jalur lintas selatan-selatan membentang lurus, melewati kawasan pantai selatan hingga ke Wates, DI Yogyakarta.

Jalan cukup untuk berpapasan dua bus besar, tetapi sebagian masih berlapis aspal kasar dan bergelombang. Begitu memasuki wilayah DI Yogyakarta, jalan sempit ini menjelma menjadi jalan empat lajur selebar 24 meter beraspal mulus.

Sekilas, tak ada yang istimewa dari pusat ”kota” Petanahan. Namun, tempat ini menyimpan kisah sejarah yang telah terlupakan. ”Pasar Petanahan ini sudah sangat lama, sejak zaman Belanda,” ujar Ahmad Zaenuri (30), pedagang pisau di pasar tersebut.

Warga Petanahan hampir semuanya tahu bahwa deretan bangunan tua yang bagian depannya difungsikan sebagai toko dan belakang sebagai rumah itu milik orang-orang keturunan bangsawan asal Yogyakarta. ”Warga sini banyak yang leluhurnya dulu orang Yogyakarta. Kalau yang keturunan bangsawan, biasanya punya gelar nganten atau raden,” kata Zaenuri.

Sejarawan Banyumas, Budiono Herusatoto, dalam bukunya Banyumas (2008) mengatakan, para bangsawan asal Yogyakarta itu datang sejak zaman Sultan Agung (1613-1645) dari Mataram Islam hingga masa Perang Diponegoro (1825-1830). Ada di antara mereka yang berstatus sebagai kerabat keraton, abdi dalem, prajurit, hingga orang biasa.

Petanahan sekarang memang berada di jalur alternatif. Namun, jalur ini dulunya justru jalur utama zaman Mataram Islam. Sultan Agung pun melalui jalur ini saat menyerang VOC di Batavia tahun 1629.

Pangeran Diponegoro juga menggunakan wilayah Kebumen selatan ini sebagai basis perjuangan gerilyanya, termasuk untuk perekrutan personel. Jejak sepak terjang Diponegoro, dalam bentuk jalan- jalan setapak, masih dapat dilihat apabila menyusuri jalur Petanahan ini ke timur hingga ke wilayah Ambal.


KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Suasana di Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Senin (7/9). Kecamatan tersebut terletak di jalur alternatif lintas selatan-selatan yang merupakan salah satu jalur penghubung kota-kota besar di selatan Pulau Jawa.


Wisata pantai

Jalur alternatif juga menawarkan wisata pantai selatan dengan pesona ombak yang menggelora. Sekitar dua kilometer ke arah selatan Pasar Petanahan terdapat kawasan wisata Pantai Petanahan.

Sejak tahun 1982, Pantai Petanahan telah dikembangkan sebagai obyek wisata, lengkap dengan berbagai sarana pendukung, seperti warung makan, tempat bermain anak, sampai kolam renang air tawar untuk bilas.

Pantainya sendiri masih asli, membentang lepas sepanjang sekitar lima kilometer. Pada masa bulan muda, ombaknya bisa mencapai tinggi delapan meter. Itu sebabnya, berenang di pantai akan sangat berbahaya.

Artikel dari:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03164725/jejak.mataram.yang.terlupakan